JAKARTA – Konflik bersenjata di perbatasan Thailand-Kamboja yang memanas selama tiga hari akhirnya menemui titik terang. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan bahwa kedua negara telah menyepakati gencatan senjata untuk meredakan ketegangan di wilayah perbatasan.
Kesepakatan ini diumumkan setelah Trump melakukan pembicaraan intensif dengan pemimpin kedua negara, menekankan pentingnya perdamaian untuk stabilitas regional.
Konflik bersenjata yang berlangsung sejak Kamis (24/7/2025) di kawasan perbatasan, khususnya di wilayah Segitiga Zamrud yang melibatkan Thailand, Kamboja, dan Laos, telah menarik perhatian dunia.
Pertempuran sengit melibatkan jet tempur, artileri, tank, dan pasukan darat, menyebabkan setidaknya 33 korban jiwa, termasuk warga sipil, serta memaksa lebih dari 200.000 orang mengungsi.
Dalam pernyataannya, Trump mengungkapkan optimismenya terhadap langkah perdamaian ini. “Kedua belah pihak menginginkan Gencatan Senjata dan Perdamaian segera,” ujar Trump, seperti dikutip dari Reuters, Minggu (27/7/2025).
Trump juga memperingatkan bahwa Amerika Serikat tidak akan melanjutkan negosiasi perdagangan dengan Thailand dan Kamboja jika konflik perbatasan terus berlanjut, sebuah ancaman yang tampaknya mendorong kedua negara untuk segera bertindak.
Penjabat Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, menyambut baik inisiatif Trump. “Thailand setuju untuk melakukan gencatan senjata,” kata Phumtham, seraya mengapresiasi upaya mediasi yang dilakukan oleh Presiden AS.
Sementara itu, Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, juga menegaskan kesiapan negaranya untuk bertemu dan membahas penyelesaian damai, menyusul seruan gencatan senjata tanpa syarat yang disampaikan Kamboja di Dewan Keamanan PBB pada Jumat (25/7/2025).
Eskalasi Konflik dan Dampaknya
Ketegangan di perbatasan Thailand-Kamboja kembali memuncak setelah insiden baku tembak pada Kamis (24/7/2025), yang dipicu oleh sengketa wilayah di sekitar Kuil Preah Vihear, situs Warisan Dunia UNESCO.
Kamboja menuduh Thailand menggunakan senjata berat dan melancarkan serangan udara, sementara Thailand mengklaim Kamboja memulai agresi dengan mengerahkan drone untuk memantau perbatasan.
Pertempuran ini tidak hanya berlangsung di medan perang, tetapi juga memicu “perang” di dunia maya. Netizen dari kedua negara saling serang di media sosial, memperdebatkan isu kepemilikan wilayah hingga kebanggaan nasional seperti tarian, kuliner, dan budaya tradisional. Konflik ini juga mengancam sektor pariwisata, terutama di Kamboja, yang bergantung pada kunjungan wisatawan ke situs-situs bersejarah seperti Angkor Wat.
Peran ASEAN dan PBB
Selain mediasi Trump, Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, selaku Ketua ASEAN 2025, juga berperan aktif mendorong gencatan senjata. Anwar menyatakan kesiapan Malaysia untuk memfasilitasi dialog damai antara Bangkok dan Phnom Penh.
Sementara itu, Dewan Keamanan PBB telah menggelar pertemuan darurat untuk membahas eskalasi konflik, dengan seruan agar kedua pihak menahan diri dan menyelesaikan sengketa melalui jalur diplomatik.
Langkah ke Depan
Kesepakatan gencatan senjata ini menjadi harapan baru untuk meredakan ketegangan di kawasan Asia Tenggara. Namun, tantangan besar masih menanti, terutama dalam memastikan implementasi gencatan senjata di lapangan dan menarik pasukan dari zona konflik.
Thailand menegaskan bahwa kesepakatan harus mempertimbangkan kondisi lapangan, sementara Kamboja bersikeras pada penyelesaian damai tanpa syarat.
Dengan mediasi internasional yang kuat dan komitmen dari kedua negara, dunia kini menanti langkah konkret menuju perdamaian abadi di perbatasan Thailand-Kamboja.