JAKARTA – Komisi VII DPR RI mendesak Kementerian Kehutanan untuk segera mengkaji ulang Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) dan perubahan zonasi di Taman Nasional Komodo (TNK). Kebijakan ini dinilai mengancam kelestarian satwa komodo, merugikan masyarakat lokal, dan bertentangan dengan prinsip konservasi serta pariwisata berkelanjutan.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty menyoroti pembangunan resort dan infrastruktur pariwisata di Pulau Padar, Pulau Rinca, dan pulau lain di TNK.
“Kita menyadari pentingnya dukungan infrastruktur pariwisata, terutama di destinasi super prioritas seperti Labuan Bajo dan sekitarnya. Namun, jika pembangunan resort dan infrastruktur dilakukan secara masif di Pulau Padar, Pulau Rinca, dan pulau-pulau lain di dalam kawasan TNK, maka hal itu harus dihentikan apabila bertentangan dengan semangat konservasi. Apalagi hal ini berpotensi merusak Outstanding Universal Value (OUV) TNK sebagaimana yang telah diingatkan oleh UNESCO. Bila ingin membangun, sebaiknya dilakukan di luar kawasan taman nasional,” tegas Evita di Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Desakan ini muncul menyusul protes keras dari masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, dan DPRD setempat terhadap rencana pembangunan resort dengan 619 fasilitas wisata oleh PT Kencana Watu Lestari (PT KWT) di Pulau Padar, serta proyek serupa oleh perusahaan lain di TNK. PT KWT diketahui mendapat konsesi selama 55 tahun berdasarkan SK No. 796/Menhut-II/2014 untuk lahan seluas 426,07 hektar di Pulau Padar, sementara PT Segara Komodo Lestari (PT SKL) mengelola 22,10 hektar di Loh Buaya, Pulau Rinca, melalui SK No. 7/1/IUPSWA/PMDN/2015.
Evita menegaskan perlunya pengembalian zonasi TNK ke status sebelum 2012, yakni dari zona pemanfaatan ke zona inti atau rimba, jika terbukti merusak habitat komodo.
“Komodo adalah satwa liar yang bergerak bebas tanpa mengenal batas zonasi. Jika pembangunan dilakukan secara masif di dalam kawasan, maka ruang hidup komodo akan semakin terdesak karena peningkatan aktivitas manusia. Oleh karena itu, penataan ruang harus dilakukan secara cermat dan tidak boleh sembarangan diubah-ubah. Kita mendengar bahwa UNESCO sangat prihatin terhadap perubahan zonasi tahun 2012 tersebut,” ungkapnya.
TNK, yang ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia UNESCO sejak 1991, mendapat sorotan internasional setelah UNESCO mengeluarkan peringatan pada 2021 terkait pembangunan masif di kawasan tersebut. Perubahan zonasi TNK pada 2012, yang memungkinkan pembangunan di zona pemanfaatan, diduga tidak dilaporkan ke UNESCO, padahal UU No. 5 Tahun 1990 melarang aktivitas yang mengganggu keutuhan zona inti taman nasional.
“Status taman nasional ini tidak bisa disamakan dengan taman nasional lain. Setiap proyek pembangunan harus dinilai secara menyeluruh dengan pendekatan analisis dampak dalam konteks situs warisan dunia,” ujar Evita.
Evita ini juga menyerukan pelibatan masyarakat adat dan lokal dalam perencanaan dan pengelolaan TNK. “Kita juga mendorong adanya partisipasi yang lebih besar dari masyarakat adat dan lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi seluruh aktivitas yang berkaitan dengan taman nasional. UU No. 5 Tahun 1990 menegaskan bahwa konservasi adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Sayangnya, masyarakat justru seringkali tidak dilibatkan,” tambahnya.
Evita juga mengusulkan audit independen terhadap seluruh proyek pariwisata di TNK untuk memastikan kepatuhan terhadap standar perlindungan situs Warisan Dunia UNESCO. “Sekali lagi, saya minta agar suara UNESCO benar-benar diperhatikan. Jangan sampai status warisan dunia Komodo ini dicabut karena aktivitas bisnis yang mengancam kelestarian komodo serta nilai alam dan budaya kawasan ini,” pungkasnya.