JAKARTA – Gelombang dukungan publik terhadap Kompol Cosmas Kaju Gae terus mengalir deras menyusul sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) yang dijatuhkan oleh Komisi Kode Etik dan Profesi (KKEP) Polri.
Hingga Jumat (5/9/2025) pukul 11.03 WIB, petisi daring yang menolak pemecatan perwira Brimob ini telah ditandatangani oleh 166.194 orang di platform Change.org.
Petisi ini menjadi sorotan nasional, mencerminkan simpati luas masyarakat terhadap sosok yang dianggap pahlawan daerah.
Petisi yang digagas oleh Mercy Jasinta, warga Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), ini ditujukan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, KKEP Polri, Pimpinan DPR RI, serta masyarakat luas yang peduli pada keadilan. Dalam surat terbuka yang dimuat di petisi, Mercy menegaskan:
“Kami yang bertanda tangan di bawah ini adalah keluarga besar, masyarakat Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, serta sahabat dan rakyat kecil yang mencintai keadilan. Kami menyatakan sikap menolak keputusan pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Kompol Kosmas Kaju Gae.” kataya
Latar Belakang Pemecatan dan Kontroversi
Kompol Cosmas Kaju Gae, Komandan Batalyon Resimen IV Korps Brimob Polri, dipecat menyusul insiden tragis pada 28 Agustus 2025, di mana kendaraan taktis (rantis) Brimob yang ditumpanginya melindas Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, hingga tewas saat aksi unjuk rasa di Pejompongan, Jakarta Pusat. Sidang etik yang digelar pada Rabu (3/9/2025) menyimpulkan bahwa Cosmas bertindak tidak profesional, sehingga dijatuhi sanksi PTDH.
Namun, keputusan ini memicu polemik. Masyarakat Ngada dan pendukung Cosmas menilai sanksi tersebut terlalu berat, mengingat rekam jejak pengabdian panjangnya. Cosmas dikenal sebagai putra daerah Laja, Ngada, yang telah mendedikasikan hidupnya untuk bangsa melalui tugas-tugas berisiko tinggi, termasuk menjaga keamanan saat demonstrasi besar di Jakarta.
“Bahkan, pada saat demonstrasi besar di Jakarta, beliau berada di garda terdepan untuk menyelamatkan banyak orang, termasuk pejabat negara,” tulis petisi tersebut.
Dukungan Publik dan Harapan Masyarakat
Petisi ini bukan hanya sekadar penolakan, tetapi juga permohonan agar Kapolri dan KKEP meninjau ulang keputusan PTDH. Masyarakat meminta sanksi yang lebih proporsional dan manusiawi, yang tidak menghancurkan karier dan nama baik Cosmas.
“Masih ada bentuk sanksi lain yang lebih manusiawi, lebih proporsional, tanpa harus meruntuhkan karier dan nama baik seorang putra daerah yang sudah puluhan tahun mengabdi,” demikian isi petisi.
Mercy Jasinta, penggagas petisi, menegaskan bahwa dukungan ini mencerminkan suara masyarakat kecil dari Ngada, Flores, yang merasa kehilangan sosok Cosmas.
“Kami percaya Tuhan Maha Adil dan suara rakyat pun patut didengar. Dari Ngada, dari Flores, doa-doa dan tanda tangan kami menjadi saksi bahwa Kompol Kosmas Kaju Gae tetaplah kebanggaan kami, tetaplah pahlawan kami,” tulisnya.
Respons Publik dan Dinamika Sosial
Lonjakan tanda tangan dalam waktu singkat menunjukkan betapa besar perhatian publik terhadap kasus ini. Dalam kurun waktu kurang dari dua hari, jumlah penandatangan melonjak dari 34.222 pada Kamis (4/9/2025) menjadi lebih dari 166.000 pada Jumat pagi. Angka ini terus bertambah, mencerminkan solidaritas masyarakat, khususnya dari NTT, yang melihat Cosmas sebagai simbol pengabdian.
Kasus ini juga memicu diskusi luas tentang keadilan dan proporsionalitas sanksi dalam institusi kepolisian. Sejumlah pihak, termasuk Ikatan Keluarga Ngada (Ikada) Kupang, bahkan menggelar ritual adat sebagai bentuk penolakan terhadap pemecatan tersebut. Mereka juga menyampaikan pernyataan sikap kepada Polda NTT dan Gubernur NTT, menuntut evaluasi menyeluruh atas proses sidang etik yang dianggap terlalu cepat.
Ke Depan: Harapan atas Keadilan
Petisi ini menjadi cerminan aspirasi masyarakat yang menginginkan keadilan bagi Kompol Cosmas. Dengan dukungan yang terus mengalir, harapan kini tertuju pada respons Kapolri dan KKEP Polri. Apakah sanksi PTDH akan ditinjau ulang, atau justru memicu perubahan kebijakan dalam penanganan kasus serupa di masa depan? Publik menanti langkah konkret dari pihak berwenang.
Sementara itu, kasus ini terus menjadi sorotan nasional, mengundang simpati sekaligus perdebatan tentang tanggung jawab, pengabdian, dan mekanisme disiplin internal Polri.