BANDUNG – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah untuk mendukung gizi siswa di Jawa Barat mendadak jadi sorotan nasional. Hasil pemeriksaan laboratorium mengungkap fakta mencengangkan: mayoritas sampel makanan MBG ternyata mengandung bakteri berbahaya yang bisa memicu keracunan massal.
Temuan ini menambah kekhawatiran orang tua dan pakar kesehatan, mengingat program ini menyasar ribuan anak sekolah.
Dari total 200 sampel makanan yang diambil secara acak dari berbagai dapur produksi dan sekolah di 12 kabupaten/kota, sebagian besar gagal lolos uji mikrobiologis. Sampel-sampel tersebut meliputi nasi, lauk pauk seperti daging dan sayuran, hingga hidangan lokal seperti lotek.
Kontaminasi ini diduga berasal dari proses pengolahan dan penyimpanan yang kurang higienis, yang berpotensi membahayakan kesehatan anak-anak usia sekolah.
Menurut data Dinas Kesehatan Jawa Barat, setidaknya 27 kasus dugaan keracunan makanan telah dilaporkan sejak program MBG diluncurkan.
Kasus-kasus ini tersebar di wilayah seperti Bandung, Cimahi, dan sekitarnya, dengan gejala umum berupa mual, diare, hingga demam tinggi. Pakar kesehatan menilai, paparan berulang terhadap kontaminan semacam ini bisa menimbulkan dampak jangka panjang, termasuk gangguan pencernaan kronis pada balita dan anak usia dini.
Pemeriksaan mendalam dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jawa Barat sepanjang minggu ini. Selain bakteri pembusuk seperti Escherichia coli dan Salmonella yang terdeteksi dalam kadar tinggi, uji kimia juga menemukan kadar nitrit mencapai 8 persen—jauh di atas batas aman yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Nitrit berlebih ini dikenal sebagai pemicu methemoglobinemia, atau “blue baby syndrome”, yang sangat berisiko bagi anak-anak.
Kepala Labkesda Jawa Barat, Ryan Bayusantika Ristandi, menyoroti urgensi penanganan segera saat ditemui di laboratoriumnya, Jumat (26/9/2025). “Tak hanya itu, dari hasil uji kimia, ditemukan pula kandungan nitrit hingga 8 persen. Angka ini jauh melebihi ambang batas aman dan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan serius, terutama pada anak-anak,” kata Ryan.
Lebih lanjut, Ryan menekankan perlunya reformasi di tingkat penyedia layanan. “Dugaan kuat, pencemaran terjadi karena proses penyimpanan dan pengolahan yang tidak sesuai standar higienis. Kami sarankan agar juru masak atau penyedia makanan MBG memiliki sertifikasi khusus agar kejadian serupa tidak terulang,” jelas Ryan.
Kasus ini memicu tuntutan dari berbagai pihak agar pemerintah provinsi segera menangguhkan distribusi MBG di wilayah terdampak sambil melakukan audit menyeluruh.
Dinas Kesehatan Jawa Barat telah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk memperketat regulasi, termasuk pelatihan wajib bagi tim dapur dan penerapan protokol sanitasi ketat. Sementara itu, orang tua siswa diimbau untuk memantau gejala pada anak dan melaporkan langsung ke puskesmas terdekat.
Temuan Labkesda ini menjadi pengingat betapa krusialnya pengawasan kualitas makanan dalam program bantuan sosial. Dengan anggaran negara yang digelontorkan untuk MBG, keamanan gizi tak boleh jadi korban kelalaian.