JAKARTA – Bulan madu Paus Leo dengan umat Katolik konservatif tampaknya telah berakhir lebih cepat dari dugaan. Paus asal Amerika Serikat pertama ini, yang sempat dipuji karena merangkul tradisi lama dan menghindari isu sosial panas, kini justru menuai kekecewaan setelah melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan imigrasi keras Presiden Donald Trump. Pernyataan itu memicu gelombang reaksi, dari kejutan para pendukung hingga serangan balik dari Gedung Putih, menandai babak baru polarisasi di Gereja Katolik yang beranggotakan 1,4 miliar jiwa.
Dalam konferensi pers pada Selasa lalu, Paus Leo – yang terpilih pada Mei silam – tidak ragu menyinggung kebijakan Trump. “Seseorang yang mengatakan saya menentang aborsi, tapi setuju dengan perlakuan tidak manusiawi terhadap imigran di Amerika Serikat, saya tidak tahu apakah itu benar-benar pro-life,” ujarnya tegas kepada wartawan. Pernyataan ini langsung menjadi sorotan, karena Leo awalnya dianggap sebagai penawar bagi konservatif yang kecewa dengan pendahulunya, Paus Fransiskus, yang kerap dikritik karena sikapnya yang lebih progresif.
Reaksi dari kalangan konservatif pun datang deras. Uskup Texas Joseph Strickland, mantan kritikus garis keras Fransiskus yang sempat memuji Leo, kini menyerang paus baru itu di media sosial. “Ini menimbulkan banyak kebingungan soal kesucian kehidupan manusia dan kejelasan moral ajaran Gereja,” tulis Strickland dilansir dari Reuters, Jumat (3/10/2025), yang pernah dicopot dari tugasnya oleh Fransiskus. Blog konservatif Rorate Caeli, yang dulu memuji Leo sambil mencela Fransiskus, ikut menyindir: “Sudah bosan dengan wawancara paus. Dia sebaiknya kembali ke sikap diamnya dulu.”
Bahkan, pemerintahan Trump yang jarang berkomentar soal Leo – berbeda dengan serangan balik mereka terhadap Fransiskus – tak tinggal diam. Juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt menolak keras tuduhan “perlakuan tidak manusiawi terhadap imigran”, menyebutnya sebagai karikatur yang salah.
Meski demikian, lingkaran dekat Vatikan menegaskan bahwa Paus Leo takkan mundur. Pejabat Vatikan dan rekan paus menyatakan, Leo memiliki kepedulian mendalam terhadap nasib imigran, terbentuk dari pengalamannya sebagai misionaris di Peru selama puluhan tahun. “Dia paham prioritas isu aborsi, tapi dia bukan tipe yang bilang itu jauh lebih penting daripada imigrasi,” kata Elise Allen, penulis biografi Leo untuk Penguin Peru sekaligus satu-satunya jurnalis yang mewawancarai paus sejak pemilihannya. Allen memprediksi, “Ya, dia akan mengganggu bulu-bulu konservatif Amerika di beberapa titik. Mereka seharusnya tak terkejut.”
Kardinal Michael Czerny, penasihat senior bagi Fransiskus dan Leo, menambahkan nada inspiratif. Mengutip ajaran Santo Paulus abad pertama, ia bilang: “Paus Leo mendorong dan menantang setiap Gereja lokal serta umat Kristen untuk hidupkan Injil di tengah isu rumit dan mendesak.” Ini sejalan dengan misi Leo saat Misa Pelantikan: menyatukan Gereja global yang semakin terbelah akibat polarisasi dekade terakhir.
Perbedaan Leo dan Fransiskus: Tradisi vs. Keseimbangan
Leo memang tampil beda dari Fransiskus, yang selama 12 tahun papanya sering memicu amarah konservatif. Fransiskus menolak kemewahan kepausan, membatasi Misa Latin tradisional, dan mengizinkan pendeta memberkahi pasangan sesama jenis secara kasus per kasus. Sebaliknya, Leo langsung memukau konservatif usai terpilih: Ia mengenakan mozzetta merah tradisional – pakaian kepausan yang tak pernah dipakai Fransiskus – dalam penampilan publik pertamanya.
Leo juga bertemu secara pribadi dengan dua kritikus Fransiskus: Kardinal Raymond Burke dari AS dan Kardinal Robert Sarah dari Guinea, yang kehilangan jabatan Vatikan di era sebelumnya. Burke, yang pernah membandingkan Gereja Fransiskus dengan “kapal tanpa kemudi”, bahkan diizinkan merayakan Misa Latin di Basilika Santo Petrus bulan ini – sesuatu yang ditolak Fransiskus.
Namun, Leo tak luput dari kritik konservatif sejak awal September, setelah memberi audiensi pribadi kepada seorang pendeta AS yang melayani umat Katolik LGBT. David Gibson, direktur Pusat Agama dan Budaya Universitas Fordham AS, menilai para konservatif terlalu berharap. “Mereka menggenggam upaya Leo untuk persatuan seolah-olah itu dukungan penuh agenda mereka. Leo tak pernah akan begitu,” kata Gibson kepada Reuters. “Kedua paus ini orang berbeda, tapi sama-sama pria tradisional dan berpusat.”
Dengan hati-hati alami, Leo kemungkinan akan hindari bentrokan berulang yang bisa mengeraskan oposisi. Tapi, seperti ditegaskan Allen, paus ini takkan tinggalkan nilai-nilainya sendiri. Di tengah badai kritik, Leo justru mengingatkan: Gereja bukan milik satu golongan, tapi panggilan universal untuk keadilan – termasuk bagi yang terpinggirkan di perbatasan Amerika. Apakah ini awal era baru, atau retak yang lebih dalam? Waktu akan jawab, tapi jelas, tak ada lagi bulan madu yang tenang di Tahta Santo Petrus.




