JAKARTA – Angkatan Muda Pemuda Golkar (AMPG) tak tinggal diam menghadapi serangan verbal ganas di media sosial terhadap Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia. Pada Senin (20/10/2025), organisasi sayap partai berlambang beringin itu langsung menggebrak Polda Metro Jaya dengan laporan polisi terhadap minimal lima hingga tujuh akun medsos yang diduga menyebarkan konten hinaan masif dan terstruktur.
Langkah hukum ini menyasar dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di tengah maraknya ujaran kebencian digital yang mengancam marwah tokoh politik.
Kedatangan tim AMPG ke markas polisi di Jakarta Selatan itu dipimpin Wakil Ketua Umum AMPG, Sedek Bahta, yang membawa tumpukan barang bukti berupa tangkapan layar (screenshot) unggahan provokatif. Konsultasi intensif dilakukan dengan Direktorat Siber Polda Metro Jaya, menyoroti bagaimana konten-konten tersebut telah merusak citra Bahlil sebagai figur sentral di Golkar.
Menurut data internal AMPG, serangan ini bukan sekadar kritik biasa, melainkan kampanye terkoordinasi yang menargetkan pribadi dan institusi partai.
Dalam keterangannya usai konsultasi, Sedek Bahta menegaskan urgensi langkah ini.
“Maksud kedatangan kami hari ini untuk melaporkan beberapa akun media sosial yang secara terstruktur dan masif belakangan ini menyerang pribadi, marwah, dan martabat Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia,” katanya kepada wartawan di lokasi.
Bahta juga menguraikan dasar hukum laporan tersebut, yang mencakup Pasal 27 dan 28 UU ITE tentang penyebaran informasi elektronik yang merendahkan kehormatan, serta Pasal 310 KUHP terkait penghinaan.
“Terdapat kesimpulan bahwa terhadap konten-konten yang telah diposting dan disebar oleh beberapa akun media sosial itu, berdasarkan hasil diskusi kami, akun-akun tersebut dengan konten-kontennya diduga telah melakukan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 27, Pasal 28 Undang-Undang ITE, serta Pasal 310 KUHP,” jelasnya.
Fakta mencolok dari barang bukti AMPG mengungkap betapa kasar dan tidak beretika konten-konten itu. Beberapa unggahan bahkan menyiratkan kekerasan fisik, seperti lelucon gelap tentang “wudhu pakai bensin” atau melempar Bahlil dengan batu bara. Tak hanya itu, ada pula narasi yang membenarkan penyerangan fisik terhadap sang ketua umum.
“Ada yang menulis ‘wudhu pakai bensin’, ada yang melempar dengan batu bara, ada juga yang membenarkan penyerangan secara fisik terhadap beliau. Nah, terhadap akun-akun itu kami tidak akan menyampaikan secara publik siapa pemiliknya, karena semuanya sudah kami serahkan secara resmi ke penyidik dalam bentuk bukti tangkapan layar, identitas akun, dan sebagainya,” ungkap Bahta, menjaga kerahasiaan identitas pelaku demi proses hukum yang adil.
Sebelum melapor, AMPG telah berupaya damai melalui somasi resmi ke akun-akun terkait. Hasilnya? Beberapa pihak kooperatif dan langsung menghapus unggahannya.
“Sebelum kami melakukan laporan ini, terhadap konten-konten itu kami sudah melakukan somasi. Ada beberapa akun yang kooperatif dan sudah men-take down unggahannya,” tambah Bahta.
Proses laporan ini masih tahap awal, dengan potensi penambahan akun lain yang sedang dalam penelusuran. Tim hukum AMPG berjanji melengkapi dokumen pendukung dalam satu hingga dua hari ke depan, membuka ruang mediasi sesuai prosedur kepolisian.
“Laporan sudah kami buat. Tahapannya nanti setelah ini penyidik akan memberikan ruang kepada kami untuk melengkapi beberapa dokumen. Satu atau dua hari ke depan kami akan kembali untuk menyerahkan dokumen tambahan. Setelah semua terpenuhi, baru tahapan mediasi bisa dilakukan antara pelapor dan terlapor. Jadi ruang mediasi itu tetap ada, sesuai ketentuan,” pungkasnya.
Kasus ini mencerminkan tren mengkhawatirkan di ranah digital Indonesia, di mana kritik politik sering berujung ujaran hinaan yang melanggar hukum. Dengan laporan ini, AMPG menekankan bahwa perlindungan marwah tokoh publik tak boleh dikorbankan atas nama kebebasan berpendapat.
Polda Metro Jaya belum memberikan keterangan resmi terkait kelanjutan penyidikan, namun kasus serupa di masa lalu sering berujung pemanggilan saksi dan tuntutan pidana ringan.