JATENG – Hujan deras yang melanda Kota Semarang sejak Rabu (22/10) menyebabkan banjir di berbagai wilayah perkotaan. Genangan setinggi lutut orang dewasa terlihat di kawasan Genuk dan Pedurungan, menghambat aktivitas warga dan menutupi jalan, halaman rumah, hingga area perkantoran.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang mencatat, intensitas hujan yang tinggi membuat sistem drainase tidak mampu menampung debit air, ditambah luapan Sungai Tenggang yang melewati kawasan padat penduduk.
Di beberapa titik, ketinggian air bervariasi. “Di Bangetayu Kulon, air mencapai 20 hingga 50 sentimeter, sementara di Banjardowo, Gebangsari, dan Genuksari genangan 15–60 sentimeter,” ujar BPBD. Di Jalan Nasional Kaligawe, genangan setengah meter membuat lalu lintas tersendat dan menahan truk besar hingga lebih dari 24 jam. Di depan RSI Sultan Agung, air bahkan mencapai 80 sentimeter sehingga sejumlah pasien harus dievakuasi.
Secara keseluruhan, banjir kali ini berdampak pada 4.265 jiwa dari 1.697 kepala keluarga di Kecamatan Genuk, serta 33.915 jiwa dari 11.260 kepala keluarga di Muktiharjo Kidul, Kecamatan Pedurungan. Namun, hingga Jumat (24/10) pukul 18.00 WIB, belum ada laporan warga yang harus mengungsi.
Berbagai upaya penanganan terus dilakukan. Pompa-pompa pengendali banjir di Rumah Pompa Tenggang dan Sringin terus dioperasikan, meski beberapa unit sedang dalam perbaikan atau peningkatan. BPBD Provinsi Jawa Tengah dan Pusdataru juga menambah pompa tambahan untuk mempercepat aliran air.
“Langit masih tampak berat, potensi hujan masih ada hingga beberapa hari ke depan. Artinya, genangan air bisa kembali meninggi jika tidak ditangani secara terpadu,” kata pihak BPBD.
Kondisi Banjir di Grobogan
Di Kabupaten Grobogan, banjir yang terjadi sejak Selasa (21/10) dipicu kombinasi curah hujan tinggi, luapan sungai, dan jebolnya tanggul di dua lokasi. Genangan masih ada di beberapa titik meski sebagian wilayah mulai surut. Status siaga masih diberlakukan.
BPBD Grobogan mencatat, 2.263 rumah di 28 desa pada 14 kecamatan terdampak. Genangan setinggi lutut hingga pinggang orang dewasa merendam permukiman, jalan desa, hingga persawahan seluas 285 hektare. Di Kecamatan Gubug, tanggul Kali Tuntang jebol, memaksa PT KAI DAOP IV Semarang turun menangani jalur rel bersama BBWS dan BPBD.
BNPB Gelar Operasi Modifikasi Cuaca
Menindaklanjuti laporan lapangan, Kepala BNPB, Letjen TNI Dr. Suharyanto, S.Sos., M.M., menginstruksikan Kedeputian Bidang Penanganan Darurat untuk melaksanakan operasi modifikasi cuaca (OMC).
Pada Jumat malam (24/10), pesawat Cessna Caravan PK-SNM mendarat di Bandara Ahmad Yani Semarang. Sabtu (25/10), pesawat mulai menebar 10 ton natrium klorida (NaCl) dan 2 ton kalsium oksida (CaO) untuk redistribusi curah hujan.
“Tujuan OMC ini adalah mengatur agar hujan tidak turun di wilayah yang sudah tergenang, termasuk bagian hulu sungai,” jelas BNPB.
Fokus operasi mencakup hulu Sungai Tuntang dan Lusi di Grobogan, serta wilayah Kota Semarang. Tim BNPB bekerja sama dengan BMKG, BRIN, TNI AU, dan BPBD Jawa Tengah. Meteorolog memantau peta awan untuk menentukan waktu dan lokasi sebaran bahan semai, sementara pilot menaburkan bahan semai untuk memicu hujan di titik yang aman.
BMKG memprediksi curah hujan tinggi di Jawa Tengah akan berlangsung hingga awal November, dipengaruhi fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) dan gelombang Rossby ekuatorial. OMC akan berlangsung 3–5 hari dengan evaluasi harian untuk memastikan efektivitas setiap sortie penerbangan.
OMC Bukan Langkah Baru
Operasi Modifikasi Cuaca bukan hal baru di Indonesia. Diperkenalkan pertama kali pada 1977/1978 untuk mendukung irigasi, OMC kini digunakan sebagai mitigasi bencana, termasuk banjir perkotaan. BNPB menyatakan, metode ini membantu menurunkan risiko banjir dan merupakan bagian dari strategi adaptasi perubahan iklim.
“Modifikasi cuaca hanya memberi jeda, bukan jawaban akhir dari masalah banjir. Masyarakat tetap diminta waspada terhadap hujan susulan,” imbuh BNPB.
Masalah banjir di Semarang dan Grobogan berakar dari curah hujan tinggi, tata ruang padat, sistem drainase yang menua, dan sedimentasi sungai. Upaya penguatan mitigasi struktural dan non-struktural tetap menjadi kunci mencegah risiko bencana jangka panjang.