Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diluncurkan pemerintah sebagai wujud janji kampanye untuk meningkatkan gizi anak Indonesia, kini menjadi sorotan tajam setelah laporan Badan Gizi Nasional (BGN) mengungkap fakta mencengangkan. Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyatakan bahwa program ini menyumbang sekitar 48 persen dari total kasus keracunan pangan di Indonesia selama hampir 10 bulan pelaksanaannya sejak Januari 2025.
Dari 441 kasus keracunan pangan yang tercatat, 211 kasus di antaranya berasal dari program MBG, menyeret ribuan anak sekolah menjadi korban dan memicu kekhawatiran publik soal keamanan pangan. Menurut data resmi BGN, total 11.640 orang menjadi korban keracunan pangan akibat MBG, dengan gejala mulai dari mual, muntah, diare, hingga kasus serius yang memerlukan rawat inap. Namun, data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat angka lebih tinggi, yakni 13.371 korban.
Perbedaan data ini, menurut Dadan, disebabkan oleh metode pengumpulan dan pelaporan yang belum selaras antara kedua lembaga. “Kami sedang melakukan sinkronisasi data dengan Kemenkes untuk memastikan akurasi dan transparansi,” ujar Dadan dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (11/11/2025). Ia menegaskan bahwa proses ini akan selesai dalam dua minggu ke depan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas kepada publik.
Program MBG, yang menyasar pelajar SD dan SMP di seluruh Indonesia, dirancang untuk menyediakan makanan bergizi gratis guna mengatasi masalah stunting dan kekurangan gizi. Dengan anggaran triliunan rupiah dari APBN, program ini melibatkan ribuan penyedia katering lokal yang bekerja sama dengan sekolah-sekolah.
Namun, laporan BGN mengungkap bahwa banyak kasus keracunan berasal dari kualitas bahan pangan yang buruk, penyimpanan tidak higienis, dan kelalaian dalam proses distribusi. Beberapa kasus mencolok terjadi di daerah terpencil, seperti di Kabupaten Merauke (Papua Selatan) dan Kabupaten Lombok Timur (NTB), di mana makanan basi diduga disajikan karena keterlambatan pengiriman.
Dadan Hindayana secara terbuka mengakui adanya kelalaian dalam pelaksanaan MBG, terutama dalam pengawasan rantai pasok pangan. “Kami menemukan beberapa penyedia katering tidak mematuhi standar keamanan pangan, dan koordinasi antarinstansi di lapangan masih lemah,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti kurangnya pelatihan bagi petugas katering lokal serta minimnya inspeksi rutin di banyak daerah. Untuk mengatasi ini, Dadan menegaskan bahwa BGN akan memperketat pengawasan, mulai dari seleksi vendor hingga distribusi makanan ke sekolah. “Kami akan bentuk satgas khusus bersama Kemenkes dan Kemendikbudristek untuk memastikan kejadian ini tidak terulang,” tambahnya.
Sekitar 60% kasus berasal dari sekolah di wilayah pedesaan, di mana infrastruktur penyimpanan dingin (cold storage) masih terbatas. Selain itu, laporan inspeksi BGN menemukan bahwa 35% penyedia katering tidak memiliki sertifikasi keamanan pangan, sebuah pelanggaran serius terhadap pedoman MBG.
Ke depan, BGN dan Kemenkes berjanji untuk merilis laporan transparan soal penanganan kasus dan langkah perbaikan. Sementara itu, masyarakat menanti apakah program MBG bisa bangkit dari krisis ini atau justru menjadi pelajaran mahal tentang pentingnya keamanan pangan bagi generasi masa depan Indonesia.




