Bareskrim Polri resmi menetapkan PT Peter Metal Technology (PMT) sebagai tersangka dalam kasus kontaminasi radioaktif Cesium-137 di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten. Pengumuman ini disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol Nurofiq dalam rapat kerja bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (3/12/2025).
“Bareskrim telah menetapkan PT PMT sebagai tersangka terkait insiden Cesium-137, dan proses hukumnya sedang berjalan,” ujar Hanif di Kompleks Parlemen Senayan. PT PMT, perusahaan peleburan stainless steel, diduga menjadi sumber utama kontaminasi setelah Satgas menemukan radionuklida Cs-137 berasal dari aktivitas peleburan scrap metal atau besi bekas.
1.136 Ton Material Terkontaminasi Masih Disimpan
Hanif mengungkapkan bahwa sebanyak 1.136 ton material yang terkontaminasi saat ini masih tersimpan di fasilitas penyimpanan sementara PT PMT. Material tersebut memiliki masa aktif lebih dari 60 tahun, sehingga membutuhkan tempat penyimpanan permanen yang aman dan sesuai standar.
Hingga kini, proses dekontaminasi pada 12 titik telah rampung. Namun, terdapat satu rumah warga yang belum dapat ditangani karena diduga material radioaktif berada di bawah fondasi. “Jika diperlukan, satu-satunya pilihan adalah mengganti rumah tersebut dan merobohkannya,” kata Hanif. Penghuni rumah telah direlokasi sementara menunggu hasil kajian BRIN dan Bapeten.
Permintaan Tambahan Anggaran Rp28 Miliar
Untuk mempercepat penanganan, Kementerian Lingkungan Hidup mengajukan tambahan anggaran 2026 sebesar Rp28 miliar. Hanif menegaskan bahwa penanganan kontaminasi Cs-137 menjadi tantangan tersendiri mengingat KLHK tidak memiliki tugas pokok terkait radiasi dan nuklir.
“Operasional penanganan Cikande membutuhkan biaya besar. Karena itu, kami mengoordinasikan kementerian dan lembaga terkait untuk mengusulkan tambahan anggaran,” jelasnya.
Langkah ini dianggap penting untuk memulihkan kepercayaan internasional setelah FDA Amerika Serikat mendeteksi kontaminasi Cesium-137 pada udang beku asal Indonesia pada Agustus 2025, yang memicu kekhawatiran terhadap keamanan produk ekspor nasional.