Di balik puing yang menyimpan tangis dunia, seorang pria berdiri memanggil cinta yang tak lagi bisa ia sentuh. Kisah Muhajirin bukan hanya tentang kehilangan, melainkan tentang hati yang tetap setia meski dunia di sekelilingnya runtuh.
Kabupaten yang dahulu ramai kini menjadi lautan lumpur dan debu. Bau tanah basah bercampur dengan suara mesin berat yang meraung di kejauhan. Namun, di antara hiruk-pikuk bencana itu, ada satu suara yang merayap lembut—menggetarkan siapa pun yang mendengarnya. Itulah suara Muhajirin, melantunkan azan dalam napas yang mulai goyah, memanggil istrinya, Fitriani, yang tak kunjung ditemukan.
Ia berdiri di sana, seakan waktu menahannya. Seakan seluruh harapan terakhir bertumpu pada getar suaranya.
Penantian di Antara Puing yang Membisu
Sejak hari pertama bencana, Muhajirin tak beranjak jauh dari reruntuhan rumahnya. Tubuhnya melemah, matanya sembab, tetapi setiap kali ia membuka bibir, yang keluar hanyalah panggilan yang dulu begitu akrab di telinga istrinya.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…”
Suara yang pernah membangunkan Fitriani setiap pagi kini terdengar seperti pengharapan yang ditujukan ke langit paling sunyi.
Relawan berkali-kali membujuknya untuk beristirahat. Namun ia hanya menggeleng, pelan, rapuh.
“Aku takut… kalau aku berhenti memanggil, dia tak dengar aku,” ucapnya lirih, seolah kata-kata itu terbuat dari serpihan hatinya sendiri.
Muhajirin tahu, memanggil nama mungkin takkan cukup. Maka ia memilih azan—suara yang dulu menyatukan mereka, suara yang dulu membuat Fitriani tersenyum kecil sambil menyiapkan sarapan.
Hari demi hari, ia berdiri di bawah hujan yang turun seperti ikut berduka, malam-malam dingin yang merambati tulang, dan angin yang membawa bau tanah yang hancur. Suaranya semakin parau, tapi cintanya tak pernah goyah.
Janji yang Tak Pernah Layu
Apa yang membuat seorang pria bertahan sejauh itu? Jawabannya tersimpan dalam kenangan-kenangan kecil yang kini berputar seperti film lama dalam pikirannya: tawa Fitriani ketika ia lupa mematikan kompor, wajahnya yang cemberut manja saat remote TV direbut, dan tangan lembutnya yang selalu membetulkan kerah baju suaminya sebelum keluar rumah.
Pernah, seorang relawan bertanya dari mana ia mendapatkan kekuatan itu. Muhajirin menatap puing yang menjadi saksi kasihnya.
“Karena aku pernah janji mencintainya sampai mati,” katanya pelan. “Dan aku tak pernah janji berhenti mencintainya setelah itu.”
Azannya membuat orang-orang berhenti sejenak. Ada yang menunduk, ada yang menitikkan air mata. Karena panggilan itu bukan sekadar doa—itu adalah cinta yang menolak padam meski diterpa angin bencana.
Ketika Kabar Pahit Datang seperti Hujan yang Tak Terelakkan
Pada hari keempat, langit tampak lebih kelabu dari biasanya. Seolah alam memberi isyarat. Tim penyelamat akhirnya menemukan Fitriani. Terbaring diam di antara puing, dengan tubuh yang dulu begitu hangat, begitu akrab, kini membisu.
Muhajirin tidak berteriak. Tidak meronta.
Ia hanya duduk di tanah basah, seperti seseorang yang baru saja ditinggal oleh separuh jiwanya. Dalam keheningan yang menyesakkan, ia kembali melantunkan azan—azannya yang paling lembut, paling patah.
Bukan lagi panggilan.
Melainkan perpisahan.
“La ilaha illallah…”
Air matanya mengalir, tanpa suara, seakan ia takut gemuruh tangisnya mengusik kedamaian istrinya.
Pemakaman sederhana digelar sore harinya. Tanah yang masih basah menelan tubuh wanita yang ia cintai seumur hidupnya. Malam itu, di depan makam Fitriani, Muhajirin membungkuk dan berbisik, suaranya nyaris tak terdengar.
“Kalau nanti aku bisa tidur lagi… biarlah suara azanku menemanimu.”
Cinta yang Tidak Mencari Akhir Bahagia
Kisah Muhajirin mengingatkan kita bahwa cinta sejati tidak selalu berakhir dengan pelukan terakhir. Kadang, cinta bertahan justru karena kehilangan. Azan yang ia lantunkan menjadi pengingat bahwa ada ikatan yang tak bisa dipatahkan oleh waktu ataupun bencana.
Di tengah tragedi yang merampas segalanya, suara lirih Muhajirin menjadi saksi bahwa cinta bisa menjadi kekuatan paling lembut yang pernah dimiliki manusia.
Di zaman ketika bencana begitu mudah merenggut kebahagiaan, kisah seperti ini menyentuh hati: mengajak kita menghargai orang-orang tercinta sebelum semuanya terlambat.
Karena cinta Muhajirin tidak mati.
Ia hidup—dalam suara yang pernah ia lantunkan, dalam kenangan yang ia peluk erat, dalam doa yang terus ia kirimkan