JAKARTA – Bantuan kemanusiaan di kawasan Asia menghadapi tekanan luar biasa karena hujan monsun ekstrem dan dua siklon tropis menyebabkan banjir masif yang merusak infrastruktur hingga membuat banyak wilayah terputus dari akses pertolongan.
Laporan terbaru menunjukkan pendanaan kemanusiaan global yang terus menurun memperberat upaya penyelamatan ketika Sri Lanka, Indonesia, Thailand, dan Malaysia dilanda bencana yang merenggut lebih dari 1.300 korban jiwa dan memaksa jutaan orang mengungsi dari rumah mereka.
Melansir laporan CNA, Kamis (4/12/2025), Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) menegaskan bahwa kebutuhan bantuan meningkat jauh lebih cepat dibandingkan kapasitas respons di lapangan, sehingga dukungan internasional dianggap sangat diperlukan pada situasi saat ini.
Jaringan jalan yang terputus mengisolasi banyak keluarga dan memaksa tim penyelamat menggunakan perahu serta helikopter untuk mendistribusikan bantuan meski laju penyampaiannya berlangsung sangat lambat.
Pemotongan dana kemanusiaan dari donor besar membuat seruan bantuan belum menghasilkan dukungan signifikan, sementara IFRC meluncurkan permintaan pendanaan darurat senilai 5 juta franc Swiss untuk mempercepat operasi lapangan.
IFRC sebelumnya telah menggelontorkan 1 juta franc Swiss dari dana daruratnya dan Sri Lanka menetapkan keadaan darurat setelah Siklon Ditwah menewaskan sedikitnya 465 orang dan memicu banjir serta longsor berskala besar.
Indonesia menghadapi kondisi paling berat dengan lebih dari 800 korban meninggal dan ratusan orang hilang, sementara penumpukan pengungsi meningkatkan risiko penyebaran penyakit di lokasi-lokasi evakuasi yang penuh sesak.
Kerusakan ribuan sekolah di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat memaksa fasilitas pendidikan dialihkan menjadi tempat pengungsian darurat sehingga memperparah dampak jangka panjang terhadap akses belajar anak-anak.
Save the Children memperingatkan ancaman pekerja anak, pernikahan dini, dan kehilangan kompetensi belajar jangka panjang semakin besar, seraya menyediakan ruang belajar sementara dan dukungan psikologis untuk anak-anak terdampak.
Di tengah upaya penyelamatan darurat, organisasi kemanusiaan menekankan pentingnya penguatan sistem peringatan dini setelah banyak penyintas mengaku banjir datang tanpa tanda awal.
Para ahli mengingatkan bahwa sejumlah negara di Asia masih tertinggal dalam pembangunan sistem peringatan dini yang efektif, padahal bukti global menunjukkan teknologi ini dapat menurunkan angka korban jiwa secara signifikan.
Selain hambatan infrastruktur dan minimnya pendanaan, bencana kali ini kembali menegaskan meningkatnya intensitas cuaca ekstrem yang dipicu perubahan iklim dan menjadikan Asia sebagai kawasan paling rentan terhadap pemanasan global.
Kenaikan suhu laut dan atmosfer turut memicu hujan ekstrem, banjir bandang, serta siklon yang lebih kuat, sementara IFRC menyebut bencana serupa kini terjadi lebih sering sehingga menuntut aksi nyata menghadapi perubahan iklim.***