Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membuka AAA Conference 1.0 di Wisma Danantara pada Jumat (5/12). Di hadapan ratusan akademisi, pejabat, dan pengusaha, Tito memaparkan visi keras tentang posisi Indonesia di tengah “badai besar” tatanan dunia yang anarkis.
“Saya pernah ‘dihajar’ habis-habisan oleh aliran Realisme dalam Hubungan Internasional. Dan pelajaran itu masih nempel sampai sekarang,” ujar Tito memulai pidatonya.
Menurutnya, dunia ini pada dasarnya anarki — tidak ada “raja dunia”, tidak ada satu kekuatan tunggal yang mengatur semuanya. Yang ada hanya negara-negara yang terus bertarung demi bertahan hidup, merebut sumber daya, pengaruh, dan dominasi.
“Negara yang kuat memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Yang kalah bisa dikooptasi, diserap, atau pelan-pelan lenyap dari peta kekuatan. Itulah Realisme — paradigma bertahan hidup,” tegasnya.
Tito mengaku tetap sedikit optimis meski banyak pakar skeptis. Kuncinya satu: investasi besar-besaran pada sumber daya manusia melalui pendidikan kelas dunia.
Mengapa Indonesia Harus “All-In” Kirim Anak Muda ke Luar Negeri?
Tito menegaskan, Indonesia adalah negara terbesar ke-4 dunia dari segi populasi, tapi sumber daya alamnya tidak melimpah seperti Rusia, Brasil, atau Australia.
“Lihat Singapura, Islandia, Swiss — negara kecil tanpa tambang emas atau minyak, tapi mereka jadi superpower karena satu hal: mereka mengirim ribuan anak muda terbaiknya belajar ke luar negeri setiap tahun sejak puluhan tahun lalu.”
Contoh konkret dari Singapura:
- Setiap tahun ribuan pelajar terbaik dikirim dengan beasiswa negara
- Saat ini 1–1,5 juta warga Singapura pernah studi di luar negeri
- Hasilnya? Singapura jadi pusat keuangan, teknologi, dan inovasi dunia

Usulan Besar Tito Karnavian: Program Beasiswa Nasional Skala Raksasa
Tito mengusulkan langkah konkret yang harus segera dilakukan Indonesia:
- Kirim ribuan (bukan ratusan) anak muda terbaik setiap tahun ke universitas top dunia:
Harvard, Stanford, MIT, Oxford, Cambridge, Tsinghua, Tokyo University, NUS, NTU, dll. - Berikan beasiswa penuh negara — termasuk biaya hidup, tiket, dan asuransi.
- Mulai dari jenjang S1, S2, hingga S3 — bahkan program pertukaran pelajar SMA seperti yang dilakukan Singapura.
- Targetkan 10.000–20.000 talenta kelas dunia dalam 10–15 tahun mendatang.
“Kalau kita lakukan ini sekarang, dalam 20 tahun Indonesia akan punya puluhan ribu pemimpin, ilmuwan, pengusaha, dan birokrat yang berstandar global. Itu investasi termahal sekaligus termurah yang pernah bisa dilakukan sebuah bangsa,” tegas Tito.
Pengalaman Pribadi Tito: “Anak Saya Sekolah di Singapura, Selalu Ranking 5 Besar”
Dengan rendah hati namun tegas, Tito menceritakan pengalaman pribadinya:
“Maaf kalau terdengar sombong, tapi anak-anak saya sekolah di Singapura dari SD sampai SMA. Hampir selalu masuk 5 besar kelas — bukan karena jenius, tapi karena sistem di sana sangat kompetitif, terstruktur, dan mendisiplinkan sejak dini.”
Menurutnya, manfaat belajar di luar negeri bukan hanya ilmu, tapi juga:
- Jaringan internasional yang sangat luas
- Budaya disiplin dan kerja keras
- Pemahaman peradaban maju yang sulit didapat di dalam negeri sendiri
“Kalau kita tidak bergerak cepat dan masif sekarang, Indonesia akan terus jadi penonton di panggung dunia. Kita akan jadi pasar, bukan pemain. Kita akan dieksploitasi, bukan yang mengeksploitasi,” tandasnya.