Fadli Agustian, Manajer Pelayanan PLN Kuala Simpang, berdiri teguh di tengah bencana yang merenggut seluruh hartanya. Rumahnya di Aceh Tamiang luluh lantak tersapu banjir bandang—habis tak bersisa, bersama kendaraan dan semua harta yang ia miliki.
Namun di saat banyak orang memilih berduka, Fadli justru mengambil sikap sebaliknya: ia tetap turun ke lapangan, bahu membahu dengan para petugas PLN lain untuk memastikan Aceh Tamiang kembali terang.
Di antara para pekerja yang berjibaku memperbaiki jaringan listrik, sebuah percakapan sederhana menguak kisah keteguhan hati seorang lelaki yang tak menyerah. Kepada Elly Husin, Pemimpin Redaksi Garuda TV, Fadli mengutarakan keteguhan hatinya.
“Anak istri saya mengungsi di atas kantor PLN lantai dua. Rumah habis, kendaraan habis, semuanya habis,” ujarnya
Setelah memastikan keluarganya aman, ia turun ke desa yang sudah rata tersapu banjir dan berad di garis terdepan pemulihan listrik, bekerja dari malam hingga larut demi mengejar target yang dipesankan Menteri Pertahanan dan Dirut PLN: Aceh Tamiang harus kembali menyala.
Tak hanya bekerja, Fadli juga membantu menyelamatkan sekitar 30 pengungsi yang kini tinggal sementara di kantor PLN: lansia, ibu dengan disabilitas, hingga enam anak kecil.
“Kita mengangkut pengungsi sekitar 30 orang di kantor PLN. Ada lansia dan ibu cacat. Anak kecil enam orang,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Selama dua hari pertama, mereka bertahan hidup hanya dengan makanan seadanya.
“Hari pertama kami masih bertahan dengan makan seadanya. Hari kedua dengan ikan yang seadanya,” katanya.
“Jadi sampai dari hari pertama banjir sampai dengan hari ini kami terus berjuang. Berjuang untuk tetap melistriki Aceh terutama, Aceh Tamiang, yang hari ini kita bilang hampir porak-poranda semuanya,” lanjutnya.
Meski daerahnya porak-poranda, Fadli justru melihat hikmah dari bencana ini: betapa pentingnya saling menguatkan ketika ujian datang. Baginya, meninggalkan sementara keluarga untuk bekerja bukan pilihan mudah—namun sebuah panggilan tanggung jawab.
“Seperti hikmah yang saya dapati, banyak pelajaran yang kami dapat, tapi di sini seperti dari malam hingga pukul 1 malam, kami masih terus bekerja di jembatan Aceh Tamiang, yang mana jembatan itu memang parah. Tapi mau tidak mau kami tetap mengejar target sesuai dengan pesan Pak Prabowo dan Pak Darmawan agar listrik tetap menyala. Jadi mau tidak mau kami tinggalkan anak istri dulu (4:55) kami untuk berjuang melistriki Aceh Tamiang,” ujar Fadli Agustian.
Di tengah gelapnya bencana, sikap Fadli menjadi cahaya—sebuah bukti bahwa pengabdian tak pernah tenggelam, bahkan saat badai menerjang hidup sendiri.