Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkap temuan besar peredaran pangan ilegal, kedaluwarsa, dan rusak menjelang Natal 2025 dan Tahun Baru 2026. Dari hasil Intensifikasi Pengawasan Pangan (Inwas Nataru), nilai ekonomi pangan yang tidak memenuhi ketentuan (TMK) tercatat mencapai Rp42,1 miliar.
Pengawasan dilakukan sejak 28 November hingga 31 Desember 2025, dengan data sementara hingga 17 Desember 2025. BPOM memeriksa 1.612 sarana peredaran pangan di 38 provinsi, mulai dari ritel modern, ritel tradisional, gudang distributor, hingga platform e-commerce.
Meski jumlah sarana yang diperiksa turun 46,2 persen dibandingkan Inwas Nataru 2024, tingkat pelanggaran justru meningkat. Tahun ini, 34,9 persen sarana dinyatakan melanggar, naik dari 27,9 persen pada tahun sebelumnya.
Kepala BPOM Taruna Ikrar menjelaskan, peningkatan temuan merupakan dampak dari pendekatan pengawasan berbasis risiko yang menyasar titik-titik rawan dan sarana dengan rekam jejak pelanggaran.
“Pendekatan berbasis risiko membuat temuan meningkat karena kami fokus pada lokasi yang berpotensi tinggi melanggar,” ujar Taruna.
Dari hasil pemeriksaan, BPOM menemukan 126.136 pieces pangan TMK. Mayoritas berupa produk tanpa izin edar (TIE) sebesar 73,5 persen, disusul pangan kedaluwarsa 25,4 persen, dan pangan rusak 1,1 persen.
Produk TIE paling banyak ditemukan di wilayah perbatasan dan kota-kota tertentu seperti Tarakan, Jakarta, Pekanbaru, Dumai, dan Tasikmalaya. Jenisnya didominasi pangan impor, antara lain minuman sari kacang, mi dan pasta, minuman serbuk cokelat, krimer kental manis, hingga olahan daging.
Taruna menyoroti tantangan geografis Indonesia yang membuka banyak jalur masuk ilegal. “Produk ilegal masuk lewat jalur tikus, terutama di Tarakan dan Dumai. Ditambah tingginya permintaan produk tertentu dari Malaysia dan Korea serta maraknya penjualan daring, distribusi menjadi makin luas tanpa pemeriksaan fisik,” jelasnya.
Sementara itu, pangan kedaluwarsa paling banyak ditemukan di wilayah timur Indonesia seperti Kupang, Sumba Timur, Ambon, Bau-Bau, dan Kepulauan Tanimbar. Adapun pangan rusak banyak ditemukan di Ambon, Mamuju, Sofifi, Balikpapan, dan Surabaya, umumnya akibat rantai pasok panjang dan sistem penyimpanan yang tidak memadai.
Dari pengawasan offline, nilai ekonomi temuan diperkirakan Rp1,3 miliar. Namun, temuan terbesar berasal dari patroli siber. BPOM memantau 2.607 tautan penjualan di platform digital dan menemukan 1.583 tautan menjual produk tanpa izin edar serta 1.024 tautan menjual pangan mengandung bahan berbahaya. Nilai ekonominya mencapai Rp40,8 miliar.
BPOM telah menindaklanjuti temuan tersebut melalui penarikan dan pemusnahan produk, sanksi administratif, hingga proses hukum. Koordinasi juga dilakukan dengan asosiasi e-commerce dan kementerian terkait untuk menurunkan konten penjualan ilegal.
Taruna mengingatkan bahaya serius dari pangan ilegal dan kedaluwarsa, termasuk produk yang mengandung bahan kimia obat seperti sildenafil sitrat. “Risikonya mulai dari gangguan ginjal dan jantung hingga kematian. Produk rusak juga rentan terkontaminasi bakteri,” tegasnya.
Menjelang maraknya pengiriman hampers Natal dan Tahun Baru, BPOM mengimbau masyarakat menerapkan Cek KLIK—cek kemasan, label, izin edar, dan kedaluwarsa—guna menghindari risiko kesehatan.