Pemerintah Indonesia terus mematangkan langkah untuk mengantarkan tempe sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) UNESCO. Salah satu upaya tersebut ditandai dengan penyelenggaraan Festival Budaya Tempe oleh Kementerian Kebudayaan di Jakarta, Minggu (21/12).
Indonesia secara resmi telah mengajukan tempe ke UNESCO sejak awal 2024, dengan target penetapan pada akhir 2026. Festival ini menjadi bagian dari strategi memperkuat narasi tempe sebagai warisan budaya yang hidup dan berkelanjutan.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa tempe bukan sekadar produk kuliner, melainkan bagian dari ekosistem budaya yang kompleks dan bernilai tinggi.
“Budaya tempe ini bukan hanya bicara tentang tempenya sebagai makanan, tetapi juga mencakup tradisi pengetahuan fermentasi yang melibatkan jutaan orang,” ujar Fadli dalam sambutannya.
Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 170.000 komunitas tempe dengan total 1,5 juta pekerja yang bergantung pada sektor tersebut. Data ini menunjukkan bahwa tempe bukan hanya simbol budaya, tetapi juga fondasi penting ekonomi budaya nasional.
Tempe dan Strategi Gastrodiplomasi Indonesia
Lebih lanjut, Fadli menilai tempe memiliki potensi besar sebagai instrumen gastrodiplomasi Indonesia di kancah global. Sebagai sumber protein nabati yang ramah lingkungan, tempe dinilai relevan dengan tren pangan sehat dunia.
“Tempe bisa menjadi medium diplomasi budaya. Kami berharap para koki dan pakar pangan dapat terus berinovasi, baik dari segi bentuk maupun rasa, agar tempe semakin diterima secara global,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, Direktur Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerja Sama Kebudayaan Kemenbud, Endah Tjahjani Dwirini, mengungkapkan bahwa dokumen pengajuan tempe saat ini masih dalam tahap kajian UNESCO.
“Mudah-mudahan pada 2026 nanti tempe dapat disahkan dan menjadi warisan budaya tak benda ke-17 dari Indonesia,” kata Endah.
Ketergantungan Kedelai Impor Masih Jadi Tantangan
Di balik optimisme tersebut, pemerintah mengakui masih ada tantangan struktural dalam industri tempe, terutama ketergantungan pada kedelai impor. Kebutuhan kedelai nasional mencapai sekitar 2,9 juta ton per tahun, sementara serapan kedelai lokal masih di bawah 100.000 ton.
“Mungkin sudah saatnya para ahli pertanian kita fokus meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Dengan kemajuan teknologi pertanian, harapannya tempe bisa sepenuhnya berbasis bahan baku lokal,” ujar Fadli.
Selain itu, Kementerian Kebudayaan juga mendorong peningkatan kualitas produksi melalui lokakarya bagi para perajin tempe, khususnya dalam aspek higienitas, keberlanjutan, dan penggunaan bahan organik.