JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan judicial review terhadap pasal-pasal sistem pemilu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MK memutuskan sistem pemilu yang berlaku tetap proporsional terbuka.
“Provisi permohonan ditolak,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi.
Keseluruhan Hakim MK memutuskan menolak permohonan para pemohon. “Pokok permohonan, seluruh permohonan para pemohon ditolak,” tambahnya.
Namun, dalam putusan tersebut terdapat pendapat yang berbeda atau disenting opinion yang disampaikan oleh hakim konstitusi Arief Hidayat.
Sebelumnya, pada tanggal 14 November tahun lalu, gugatan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan dengan nomor gugatan 114/PPU-XX/2022. Para pemohon dalam uji materi ini termasuk Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Salah satu permohonan yang diajukan adalah mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.
Para pemohon berpendapat bahwa sistem pemilu proporsional terbuka akan melemahkan kelembagaan sistem kepartaian. Mereka berpendapat bahwa loyalitas calon anggota legislatif yang terpilih cenderung lemah dan tidak terikat pada garis komando partai politik.
Selain itu, para pemohon juga berpendapat bahwa partai politik seharusnya memiliki kewenangan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wakil partai di parlemen. Mereka meminta kepada MK untuk membatalkan pasal-pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Jika permohonan ini dikabulkan oleh MK, maka pada Pemilu 2024, masyarakat Indonesia hanya akan memilih partai politik tanpa mengetahui nama-nama calon anggota legislatif. Pasal-pasal yang digugat meliputi Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), dan Pasal 426 Ayat (3) UU Pemilu.
MK telah melaksanakan beberapa kali persidangan mulai dari pemeriksaan pendahuluan hingga pemeriksaan persidangan. Sejumlah pihak, termasuk para ahli, DPR, Presiden, dan pihak terkait lainnya, telah dihadirkan dan memberikan keterangan di MK.