JAKARTA – Bareskrim Polri ungkap modus baru kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Pelaku melancarkan aksinya dengan modus program magang ke Jepang.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan hasil penyelidikan kasus tersebut, polisi menyebutkan ada salah satu politeknik di Sumatera Barat.
“Selama satu tahun, korban melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang, akan tetapi bekerja seperti buruh,” katanya
Djuhandhani menjelaskan pengungkapan kasus berawal dari laporan korban berinisial ZA dan FY kepada pihak KBRI Jepang. Dalam laporannya, Djuhandhani menerangkan korban bersama dengan 9 mahasiswa lainnya dikirim oleh politeknik dengan dalih program magang di perusahaan Jepang.
Djuhandhani menjelaskan kasus TPPO tersebut bermula ketika para korban mendaftarkan diri untuk mengikuti program magang pada 2019. Para korban yang telah mendapatkan ‘persetujuan’ dari EH selaku Direktur di Politeknik tersebut kemudian diberangkatkan dengan menggunakan visa pelajar yang berlaku selama 1 tahun dan diperpanjang dengan visa kerja selama 6 bulan.
Bukanya diarahkan untuk belajar sambil bekerja, Djuhandhani mengatakan para korban malah dipaksa bekerja selama selama 14 jam atau sejak pukul 8 pagi hingga pukul 10 malam. Para korban juga diharuskan bekerja selama 7 hari dalam seminggu tanpa ada libur.
“Di mana dalam aturan Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 19 yang isinya untuk pembelajaran 1 SKS seharusnya 170 menit per minggu dalam satu semester,” jelas dia.
Lebih lanjut, Djuhandhani menuturkan korban juga diharuskan menyetorkan dana kontribusi kepada pihak kampus sebesar 17.500 yen atau setara Rp 2 juta. Uang setoran tersebut diambil oleh EH dari total pendapatan mahasiswa yang mencapai 50 ribu yen atau setara Rp 5 juta per bulannya.
Djuhandhani mengatakan sejumlah korban sempat meminta untuk dipulangkan ke Indonesia setelah kontraknya selesai. Namun, lanjutnya, korban justru diancam akan di drop out apabila kerja sama dengan pihak perusahaan Jepang rusak.
Berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan, Djuhandhani memastikan politeknik tersebut tidak memiliki izin proses ataupun kurikulum magang di luar negeri. Selain itu, kata dia, pihak politeknik juga tidak memiliki kerjasama terkait program magang dengan perusahaan di Tokyo yang diketahui secara resmi oleh KBRI Jepang.
“Sampai dengan bulan Januari 2021, masih terdapat saldo penerimaan dana kontribusi sebesar Rp 238.676.000,” ujarnya.
Dalam kasus tersebut, penyidik kemudian menetapkan EH selaku direktur periode 2018-2022 dan G selaku direktur periode 2013-2018 sebagai tersangka TPPO.
Atas perbuatannya, para pelaku dijerat dengan Pasal 4 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO juncto Pasal 11 UU RI Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.