JAKARTA – Duta Besar Indonesia untuk Nigeria, Usra Hendra Harahap, dilaporkan oleh mantan staf kedubes terkait tuduhan pelecehan seksual dan pembalasan tidak sah.
Pengaduan ini disampaikan melalui petisi yang diajukan oleh tim pengacara korban, Bowyard Partners, kepada sejumlah pihak berwenang.
Petisi berjudul “Permintaan Mendesak untuk Intervensi dalam Kasus Pelecehan Seksual, Intimidasi, dan Pemutusan Hubungan Kerja yang Melanggar Hukum” tersebut disampaikan pada Juni 2024 kepada Menteri Luar Negeri, Duta Besar Indonesia di Nigeria, Kepala Tata Usaha Kedubes RI, dan Inspektur Jenderal Polisi (IGP).
Dalam petisi yang diterima oleh media Nigeria, Leadership.ng, disebutkan bahwa pelecehan seksual terjadi pada 7 Februari 2024 di KBRI Abuja, Nigeria. Korban, seorang perempuan yang saat itu bertugas di KBRI, mengklaim bahwa Dubes Usra melakukan kontak fisik yang tidak diinginkan saat ia membantunya menemukan lokasi negara bagian Nigeria di peta. Saat ini, korban tidak lagi bekerja di KBRI.
Akibat kejadian tersebut, korban mengalami trauma psikologis yang cukup parah hingga harus kembali ke Jakarta untuk menjalani konseling profesional. Hasil pemeriksaan psikolog dari Kemlu RI menunjukkan bahwa korban menderita gangguan stres pascatrauma (PTSD), kecemasan, dan depresi.
Dokumen konseling yang diajukan oleh tim hukum korban juga menunjukkan bahwa korban mengalami kerugian psikologis akibat pelecehan seksual tersebut.
Korban mengklaim bahwa ia juga menjadi sasaran viktimisasi dan pembalasan di tempat kerja, yang diduga merupakan usaha untuk mendiskreditkan dan memaksanya keluar dari pekerjaannya.
Adapun tindakan pembalasan itu termasuk pengawasan yang berlebihan, penilaian kinerja yang negatif, dan pemutusan hubungan kerja.
Tim hukum korban meminta Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI untuk menyelidiki kejadian ini, membatalkan pemutusan hubungan kerja korban, dan memberikan kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan.
Juru Bicara Kemlu Roy Soemirat mengonfirmasi bahwa Kemlu telah mengetahui kasus ini dan menanggapi laporan tersebut dengan serius. Kemlu terus berkomunikasi dengan pihak terkait untuk mencari solusi yang terbaik.
“Kemlu telah memberikan bantuan pendampingan psikolog untuk staf yang bersangkutan sambil terus melengkapi serta menindaklanjuti hasil laporan dimaksud,” ujar Roy dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/12).
Roy menegaskan bahwa Kemlu tidak akan mentolerir perilaku yang bertentangan dengan prinsip etika diplomatik dan selalu mewajibkan seluruh jajaran untuk mematuhi kode etik serta standar profesionalisme yang tinggi.
“Kemlu senantiasa mewajibkan semua jajaran untuk mematuhi kode etik dan standar profesionalisme yang tinggi dalam menjalankan tugasnya serta tidak akan mentolerir perilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etika diplomatik,” tegasnya.




