JAKARTA – Setiap tanggal 21 April, Indonesia merayakan Hari Kartini untuk menghormati perjuangan RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita. Namun, ada satu cerita yang sering terlupakan dalam sejarah—kisah Soesalit Djojoadhiningrat, anak tunggal RA Kartini yang hidupnya penuh perjuangan dan tragedi.
Soesalit lahir dalam kesedihan. Hanya empat hari setelah kelahirannya, ibunya, RA Kartini, meninggal dunia. Kehilangan ibunya membuat Soesalit menjadi yatim piatu sejak usia dini. Tak lama setelah itu, pada usia delapan tahun, ayahnya, RM Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, juga meninggal dunia, meninggalkan Soesalit tanpa orang tua.
Selama masa kecilnya, Soesalit dibesarkan oleh neneknya, Ngasirah, serta kakak tirinya, Abdulkarnen Djojoadhiningrat, yang sangat menyayangi dan mendukung pendidikan Soesalit. Soesalit menempuh pendidikan di Europe Lagere School (ELS), sebuah sekolah elit yang hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan bangsawan pribumi. Pada 1919, ia lulus dari ELS dan melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang, sebelum akhirnya melanjutkan pendidikan hukum di Rechtshoogeschool (RHS) di Batavia.
Namun, hanya satu tahun di RHS, Soesalit memutuskan untuk meninggalkan pendidikan hukum dan memilih berkarier sebagai pegawai pamong praja kolonial. Abdulkarnen, kakak tirinya, kemudian menawarkan Soesalit untuk bekerja di Politieke Inlichtingen Dienst (PID), badan intelijen Hindia Belanda, yang bertugas mengawasi pergerakan nasional dan ancaman spionase asing, termasuk dari Jepang.
Namun, pekerjaan ini menimbulkan dilema bagi Soesalit. Ia menyadari bahwa dengan bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda, ia merasa seolah-olah mengkhianati bangsanya sendiri. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Soesalit memutuskan untuk keluar dari PID dan bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air), sebuah pasukan sukarela yang dibentuk oleh Jepang.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Soesalit aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan pernah menjabat sebagai Panglima Divisi III Diponegoro. Ia juga terlibat dalam pertempuran di Gunung Sumbing saat Agresi Militer Belanda II.
Namun, perjalanan karier Soesalit di dunia militer tak berjalan mulus. Meskipun sempat menduduki pangkat Mayor Jenderal, ia kemudian diturunkan menjadi Kolonel dan dipindahkan ke Kementerian Perhubungan. Puncak penderitaannya datang saat Pemberontakan PKI Madiun 1948, di mana namanya terseret dalam dugaan keterlibatannya dengan kelompok pemberontak, meskipun tuduhan tersebut tidak pernah terbukti.
Soesalit akhirnya dijadikan tahanan rumah, namun ia dibebaskan oleh Presiden Soekarno. Setelah peristiwa itu, ia tidak lagi memegang jabatan militer dan dipindahtugaskan menjadi perwira staf di Kementerian Pertahanan. Pada tahun 1950, ia menjabat sebagai Kepala Penerbangan Sipil, dan pada masa Kabinet Ali Sastroamodjojo I (1953-1955), Soesalit ditunjuk sebagai Penasihat Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri.
Soesalit Djojoadhiningrat menghembuskan nafas terakhir pada 17 Maret 1979 di Rumah Sakit Angkatan Perang (RSAP), meninggalkan jejak sejarah yang penuh liku dan penderitaan.




