Live Program Jelajah UHF Digital

Aktivis Pijar Indonesia Sulaiman Haikal Bela Putusan Progresif MK, Stop Kembalikan Diskriminasi

JAKARTA – Pro kontra keputusan Mahkamah Konstitusi nomer 90 PUU-XXI 2023 yang menguji undang-undang pemilu nomer 7 tahun 2017 pasal 169 huruf q terus berlanjut. Dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada 16 Oktober itu, MK tidak menghapus persyaratan batas usia 40 tahun bagi pendaftar calon presiden dan wakil presiden, melainkan memberi kesempatan kepada anak muda yang sedang atau sudah pernah menjabat sebagai kepala daerah juga bisa mendaftarkan diri.

MK Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’.

Para pelaku aktivis reformasi 1998 yang tergabung dalam PIJAR Indonesia mengapresiasi putusan MK tersebut. Kepada media, ketua umum PIJAR Indonesia Sulaiman Haikal menyatakan putusan MK itu bagian dari tonggak perjalanan reformasi di Indonesia yang pada intinya ingin membangun demokrasi hakiki tanpa diskriminasi, terutama kepada kaum muda. Putusan MK itu jelas membuka ruang bagi siapapun yang dianggap cakap dan bekerja melayani rakyat, untuk dapat dipilih oleh rakyat, berapapun usianya.

Insentif elektoral ini penting, karena dengan begitu, setiap pelaku politik di Indonesia akan terdorong bekerja semaksimal mungkin melayani rakyat, membuat berbagai terobosan, sehingga dia dipilih oleh rakyat. “Jadi seleksi kepemimpinan berjalan natural dan empiris, bukan berdasarkan kriteria-kriteria tidak jelas semacam minimal usia 40 tahun itu” ujar Haikal.

Haikal tak ambil pusing terhadap gugatan atas keputusan MK tersebut yang tengah berproses di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Ia meyakini MKMK akan bekerja sesuai koridor hukum dan tidak akan melangkah melebihi kewenangannya dengan menganulir keputusan MK. MKMK jelas tidak punya dasar hukum mengubah sebuah keputusan MK yang sudah final dan mengikat. Terlebih secara etis, akan terjadi bencana moral jika keputusan progresif nomer 90 itu dibatalkan, dan Indonesia kembali masuk dalam diskriminasi akut terhadap kaum muda.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *