JAKARTA – Komisi I DPR RI mendorong pemerintah Indonesia mengadopsi kebijakan China yang mewajibkan influencer memiliki sertifikat profesi resmi sebelum berkarya di media sosial, guna menekan penyebaran informasi palsu dan membangun ekosistem digital yang lebih kredibel.
Anggota Komisi I dari Fraksi PKB, Taufiq R Abdullah, menyoroti dominasi platform sosial sebagai pusat informasi publik yang rawan disalahgunakan. Ia menyarankan regulasi serupa diterapkan di Tanah Air untuk mengatur content creator di bidang sensitif seperti hukum, keuangan, pendidikan, dan kesehatan.
“Dominasi media sosial sebagai sumber informasi di ruang publik patut diwaspadai bersama. Langkah China mewajibkan influencer atau content creator memiliki sertifikat resmi untuk bidang tertentu seperti hukum, keuangan, pendidikan, dan kesehatan bisa menjadi pelajaran baik bagi pemerintah dalam menata ekosistem media sosial di Tanah Air,” katanya, Rabu (12 November 2025).
Perkembangan pesat media sosial telah melahirkan profesi baru seperti youtuber, podcaster, dan influencer. Namun, popularitas sering kali bergantung pada penampilan dan trik pemasaran, bukan kompetensi.
“Situasi ini membuat banyak influencer tanpa sertifikat profesional atau keahlian memadai bisa membuat konten sesuka hati yang dapat menyesatkan pengikut atau penonton konten mereka,” katanya.
Contoh nyata terlihat pada kontroversi pengelolaan pesantren baru-baru ini, di mana influencer tanpa latar belakang memadai ikut menganalisis isu tersebut. Alih-alih mencerahkan, hal itu memicu perpecahan dan saling hujat antarpendukung di dunia maya.
“Tak hanya tentang pesantren, misalnya ketika ada wabah penyakit tertentu, muncul influencer yang membuat konten kesehatan tanpa dasar medis. Akibatnya, muncul informasi keliru tentang gejala dan cara pengobatan, sehingga rentan menimbulkan kepanikan publik,” jelasnya.
Taufiq memuji inisiatif Cyberspace Administration of China (CAC) yang memberlakukan aturan ketat bagi influencer sebagai upaya negara melindungi warganya dari hoaks. Di Indonesia, di mana media sosial masih longgar, langkah serupa dinilai mendesak. “Memang diperlukan regulasi yang bisa memproteksi masyarakat dari pengaruh informasi yang tidak sehat.
Perlindungan terhadap publik dari konten sampah atau tidak bermutu adalah bentuk nyata tanggung jawab negara terhadap literasi digital warganya,” ujarnya.
Politisi senior ini menekankan bahwa pengaturan bukanlah sensor kebebasan berekspresi, melainkan kurasi untuk menciptakan ruang digital berkualitas.
“Langkah ini juga dapat memperkuat ekosistem literasi digital nasional, memastikan bahwa ruang digital Indonesia tidak dipenuhi oleh konten sampah yang hanya mengejar sensasi tanpa nilai pengetahuan memadai,” pungkasnya.
Dorongan ini muncul di tengah maraknya kasus misinformasi yang meresahkan masyarakat, mendorong diskusi lebih lanjut tentang regulasi influencer di Indonesia. Pemerintah diharapkan segera merespons untuk meningkatkan kualitas konten dan keamanan informasi daring.




