SERANG, BANTEN – Satuan Tugas (Satgas) Pangan Bareskrim Polri melakukan rekonstruksi menyeluruh atas proses produksi beras di pabrik PT Padi Indonesia Maju (PIM), Serang, Banten, pada Rabu (6/8/2025).
Rekonstruksi ini dilakukan setelah ditemukannya dugaan pelanggaran serius terhadap standar mutu dalam kegiatan produksi perusahaan tersebut.
Dalam tinjauan yang dipimpin langsung oleh Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Helfi Assegaf, terungkap bahwa PT PIM mengoperasikan lini produksi berteknologi otomatis dengan kapasitas produksi harian mencapai 300 ton.
Mesin-mesin canggih tersebut meliputi pengering gabah, pemecah kulit, pemoles, hingga pengemas otomatis berbasis timbangan digital.
“Proses berlangsung sekitar 20 jam dari bahan baku hingga pengemasan dengan pengawasan ketat melalui ruang kendali dan laboratorium.”
“Setiap dua jam seharusnya dilakukan uji sampling oleh Quality Control (QC) untuk memastikan kualitas produk,” kata Helfi dalam keterangannya, Kamis (7/8/2025).
Namun, investigasi Polri mengungkap bahwa praktik di lapangan tidak sepenuhnya sesuai prosedur.
Pemeriksaan kualitas yang seharusnya dilakukan secara berkala ternyata hanya dijalankan satu hingga dua kali dalam satu siklus produksi.
Hal ini mengakibatkan masih adanya sisa menir dalam beras yang dikemas, meskipun kadarnya kecil, namun mencerminkan lemahnya kontrol mutu internal.
“Meski produksi menggunakan sistem otomatis, hasil sempurna tetap sulit dijamin. Temuan sisa menir menjadi catatan penting bagi manajemen untuk segera memperbaiki kualitas,” ucapnya.
Selain pelanggaran mutu, rekonstruksi juga menemukan praktik penyesuaian berat pada kemasan.
Terdapat penambahan sekitar 200 gram dalam setiap karung beras ukuran 25 kilogram.
Penyesuaian ini disebut sebagai upaya menghindari sistem error pada mesin pengemas otomatis, namun justru melanggar prinsip akurasi dalam pelabelan.
“Praktik itu berisiko menyalahi prinsip akurasi dalam label kemasan. Konsumen harus menerima produk dengan berat sesuai informasi pada label,” ujarnya.
Lebih lanjut, Helfi mengungkapkan bahwa hanya satu dari 22 personel Quality Control yang telah memiliki sertifikasi resmi.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat pentingnya kontrol kualitas dalam industri pangan.
Ia mendesak agar manajemen segera memberikan pelatihan dan melakukan sertifikasi demi menjamin mutu dan keamanan produk yang beredar.
“Tiga orang yang terkait kasus ini sedang dalam proses hukum dan tidak berada di lokasi. Namun operasional dan distribusi perusahaan tetap berlangsung seperti biasa,” katanya.***




