MYANMAR – Hari Raya Idulfitri yang seharusnya menjadi momen kemenangan dan kebahagiaan bagi seluruh umat muslim di dunia, berubah menjadi tragedi yang memilukan di Myanmar.
Gempa bumi dahsyat berkekuatan magnitudo 7,7 mengguncang negeri itu pada Jumat (28/3), menghantam keras wilayah-wilayah tempat umat Muslim tengah mempersiapkan salat Idulfitri.
Alih-alih takbir dan syukur, jeritan minta tolong dan tangis kehilangan menggema dari balik reruntuhan masjid dan rumah-rumah warga.
Militer Myanmar mencatat sedikitnya 1.644 orang meninggal dunia per Sabtu (29/3). Di antara yang hancur, ada lebih dari 50 masjid luluh lantak hanya beberapa saat sebelum jamaah berkumpul untuk ibadah salat Jumat.
Kisah Pilu Htet Min Oo, Terjebak di Reruntuhan Masjid saat Tengah Berwudhu
Bagi komunitas Muslim Myanmar, yang memang merupakan minoritas di Negeri Seribu Pagoda itu, tragedi tersebut lebih dari sekadar bencana alam, ini luka yang mencabik di tengah bulan paling suci.
Salah satu kisah tragis datang dari Mandalay, seorang warga muslim bernama Htet Min Oo (25). Saat gempa terjadi, Htet Min Oo sedang berwudhu sebelum menunaikan salat Jumat di masjid dekat rumahnya.
Seketika, tragedi nahas itu pun merennggut hidup Htet Min Oo. Rumahnya dan masjid terdekat roboh nyaris bersamaan. Ia terkubur sebagian tubuh, sementara dua anggota keluarganya terkubur di bawah reruntuhan.
“Saya tidak tahu apakah mereka masih hidup di bawah reruntuhan. Setelah sekian lama, saya rasa tidak ada harapan,” katanya kepada Reuters, Minggu (30/3).
“Terlalu banyak reruntuhan dan tidak ada tim penyelamat yang datang untuk menyelamatkan kami,” tambahnya, getir.
Warga lain di desa Sule Kone juga menghadapi kenyataan mengerikan. Seorang pria berusia 39 tahun sempat menyelamatkan empat orang dengan tangannya sendiri dari reruntuhan masjid. Namun, tiga di antaranya telah meninggal, dan satu lagi menghembuskan napas terakhir dalam pelukannya.
“Saya menyelamatkan empat orang dengan tangan saya sendiri. Namun sayangnya, tiga orang sudah meninggal dan satu orang meninggal di pelukan saya,” ujarnya dengan suara gemetar.
Menurut kesaksian pria tersebut, dari desanya saja, ada sekitar 10 orang tewas, dari 23 korban yang meninggal di tiga masjid yang hancur total.
Tak berhenti sampai di situ saja, seorang penduduk di Taungnoo, 370 kilometer dari pusat gempa, juga menjadi saksi mata di mana di tengah salat, dinding masjid tiba-tiba saja ambruk dan menimpa dua shaf jamaah.
“Saya melihat begitu banyak orang digotong keluar dari masjid, beberapa dari mereka meninggal tepat di depan mata saya,” katanya.
“Itu benar-benar memilukan,” tambahnya lirih.
Realitas Memilukan Komunitas Muslim di Myanmar
Mirisnya, gempa dahsyat yang terjadi di Myanmar pada Jumat lalu itu tak hanya merenggut nyawa dan meluluhlantakkan bangunan. Tragedi itu juga turut menyingkap realitas getir yang sudah lama dialami umat Islam di Myanmar.
Pembatasan pemerintah terhadap pembangunan dan renovasi masjid membuat banyak bangunan sudah tak layak huni karena sisi-sisinya telah rapuh, dan tinggal menanti saat roboh.
Laporan Departemen Luar Negeri AS pada 2017 bahkan pernah menyebutkan bahwa masjid-masjid bersejarah di Myanmar telah rusak karena tidak pernah diizinkan direnovasi.
Lebih ironis lagi, saat pemerintah militer menyatakan 670 biara dan 290 pagoda Buddha mengalami kerusakan, tidak satu pun masjid masuk dalam laporan kerusakan resmi mereka.
Di tengah kepedihan tersebut, suara-suara harapan muncul di media sosial. Julian Kyle, seorang warga Mandalay, memohon alat berat segera dikirim untuk mengangkat reruntuhan masjid tempat keluarganya terkubur.
“Di bawah reruntuhan, anggota keluarga saya dan yang lainnya tertimpa reruntuhan dan kehilangan nyawa mereka. Kami sangat ingin menemukan jenazah mereka,” tulisnya.
Ramadan tahun ini berakhir dengan duka yang mendalam bagi umat Muslim Myanmar. Di negeri yang sejak lama memperlakukan mereka sebagai warga kelas dua, gempa ini seperti menegaskan kembali betapa mereka tak hanya terabaikan, tapi juga dibiarkan sendiri dalam reruntuhan.
Idulfitri, yang seharusnya menjadi perayaan, berubah menjadi hari berkabung dan doa tanpa henti di atas tanah yang tak lagi utuh.