Cuaca ekstrem yang melanda Sumatera dalam beberapa pekan terakhir memicu banjir bandang dan longsor besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, akibat fenomena meteorologi langka berupa anomali pembentukan siklon tropis yang terjadi sangat dekat dengan garis khatulistiwa.
Hingga Rabu (3/12/2025) pagi, BNPB mencatat 753 korban meninggal, 650 orang masih hilang, dan 2.600 orang mengalami luka-luka.
Sonni Setiawan, dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB University, menjelaskan bahwa tahun ini menjadi perhatian khusus para ahli cuaca karena Siklon Tropis Senyar terbentuk di Selat Malaka pada lintang yang sangat rendah—di bawah lima derajat ekuator—dan berkembang dari bibit siklon 95B pada 26 November 2025. Fenomena ini disebut sangat jarang terjadi.
Interaksi Kompleks Sistem Atmosfer
Menurut analisis Sonni, kondisi ekstrem tersebut dipicu oleh interaksi sejumlah sistem atmosfer, termasuk Siklon Tropis Senyar, gelombang Ekuatorial Rossby, Madden Julian Oscillation (MJO) fase 6 di Pasifik Barat tropis, Indian Ocean Dipole (IOD) positif, serta La Nina yang menguat dipengaruhi aktivitas sunspot.
Kombinasi faktor tersebut menciptakan suplai uap air berlimpah dan memperkuat konvergensi atmosfer, sehingga membentuk awan Cumulonimbus dalam jumlah besar. Akibatnya, hujan ekstrem berlangsung lebih dari 24 jam tanpa jeda.
Sejumlah wilayah mencatat curah hujan tertinggi, di antaranya Aceh Utara (310,8 mm/hari), Medan (262,2 mm/hari), dan Tapanuli Tengah (229,7 mm/hari) pada 25–27 November 2025.
Dampak dan Ancaman Berlanjut
Indonesia juga tengah berada dalam pengaruh dua bibit siklon lain serta Siklon Tropis Fina, yang meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi.
Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani menjelaskan bahwa meskipun Siklon Senyar hanya berkategori 1, dampaknya signifikan karena suhu laut hangat di Selat Malaka mempercepat pembentukan awan konvektif pemicu hujan ekstrem dan angin kencang.
“Dalam kondisi normal, pembentukan siklon tropis mengikuti pergerakan matahari. Namun tahun ini terjadi anomali karena pembentukan siklon justru sangat dekat dengan ekuator,” ujar Sonni. Ia menegaskan bahwa meskipun Indonesia bukan jalur utama siklon tropis, masyarakat tetap harus meningkatkan kewaspadaan.
BMKG memperingatkan potensi cuaca ekstrem akan berlanjut hingga awal 2026, dengan potensi tumbuhnya bibit siklon baru di perairan selatan Indonesia pada periode Natal dan Tahun Baru.