MALANG – Senja di Kota Malang menghadirkan suasana penuh syahdu di Aula Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 22.
Lantunan ayat Alquran terdengar dari para siswa, termasuk seorang remaja bernama Gressella Putri Darria (17) yang akrab disapa Gressella.
Dengan kemeja flanel sederhana, ia menyapa guru dan teman-temannya dengan senyum hangat.
Namun di balik wajah ceria itu, tersimpan kisah perjuangan seorang anak yang dipaksa dewasa lebih cepat karena kehilangan dan luka masa lalu.
Kehidupan Gressella berubah sejak sang ayah meninggal dunia pada 2020.
Tinggal di rumah kontrakan sederhana kawasan Gadang, Kecamatan Sukun, Kota Malang, ia bersama sang ibu dan dua adiknya harus menghadapi kenyataan pahit.
Sang ibu, Sofaria, bekerja penuh waktu sebagai asisten rumah tangga untuk menopang keluarga.
Sejak itu, Gressella menjadi tulang punggung kecil di rumah, mengurus pekerjaan domestik hingga menjaga adik-adiknya.
“Kalau Mama pulang malam, saya yang urus rumah dan adik-adik. Kalau kemalaman kan kasihan capek, di rumah tinggal istirahat saja, pagi kerja lagi,” ucap Gressella lirih, Rabu (3/9/2025) malam.
Luka Perundungan di Sekolah Lama
Sebelum menemukan kembali semangat belajar, Gressella pernah mengalami masa sulit di sekolah lamanya, SMK jurusan Teknik Kendaraan Ringan (TKR).
Menjadi satu-satunya perempuan di kelas yang mayoritas siswa laki-laki, membuatnya kerap menjadi sasaran ejekan dan diskriminasi.
“Omongannya itu sakit banget. Aku udah nahan setengah tahun enggak bilang Mama, enggak bilang siapa-siapa.”
“Aku kayak suka bolos, sudah tidak kuat di kelas, sering dikucilkan dan (akhirnya) memutuskan mau keluar,” kenangnya penuh pilu.
Tekanan yang begitu berat membuatnya putus sekolah selama setengah tahun.
Hari-harinya dihabiskan untuk membantu ibunya, mengasuh adik-adiknya, hingga hampir kehilangan harapan untuk kembali mengenyam pendidikan.
Jalan Baru Bersama Sekolah Rakyat
Harapan muncul ketika seorang tetangga memperkenalkan tentang Sekolah Rakyat.
Meski awalnya ragu, dorongan ibunya serta dukungan pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) membuatnya berani mencoba.
Ia kemudian diterima di SRMA 22 Malang tanpa tes akademik.
“Setidaknya bisa melanjutkan sekolah lagi, walaupun juga terlambat,” ujarnya.
Sejak hari pertama, Gressella merasakan perbedaan besar. Lingkungan belajar yang aman dan ramah membuatnya merasa diterima.
Para guru di SRMA 22 konsisten menanamkan nilai anti-perundungan pada setiap pembelajaran.
“Materi-materi yang diberikan juga menyisipkan tentang pencegahan perundungan. Hal ini dilakukan supaya perundungan tidak terjadi di sekolah ini,” kata Luspita, salah satu guru.
Hidup Baru yang Lebih Teratur
Di sekolah ini, Gressella mendapatkan fasilitas asrama, makan bergizi, ruang kelas ber-AC, hingga akses perpustakaan keliling.
Semua itu membuatnya lebih disiplin, rajin, dan termotivasi.
“Sholatnya di sini bisa rajin lima waktu, di rumah tidak bisa. Di sini juga lebih bisa mengatur waktu daripada di rumah,” ungkapnya.
Meski jauh dari keluarga, rasa rindunya terobati lewat video call bersama sang ibu dan adik-adik.
Kadang, ibunya datang menjenguk, menjadi obat rindu di tengah perjuangan menempuh pendidikan.
Mimpi Menjadi Teknisi Mesin
Di balik perjalanan panjangnya, Gressella menyimpan cita-cita sederhana namun bermakna: melanjutkan jejak sang ayah dan kakeknya yang pernah membuka bengkel.
“Nanti kuliahnya mau ambil teknik mesin kalau bisa. (Harapanku) jadi ahli teknisi mesin,” ucapnya penuh semangat.
Perjalanan Gressella menjadi cerminan ketangguhan seorang remaja yang tidak menyerah pada trauma maupun kesulitan hidup.
Sekolah Rakyat baginya bukan sekadar ruang belajar, tetapi rumah kedua yang membangkitkan rasa aman, percaya diri, dan harapan baru.***




