JAKARTA – Mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, yang akrab disapa Mbak Ita, dijatuhi hukuman 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang pada Rabu (27/8/2025). Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta agar Mbak Ita dijatuhi hukuman 6 tahun penjara.
Mbak Ita terbukti bersalah dalam kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan dirinya dan suaminya, Alwin Basri. Selain hukuman penjara, hakim juga menjatuhkan denda sebesar Rp300 juta kepada Mbak Ita, yang jika tidak dibayar akan digantikan dengan kurungan empat bulan.
Perbuatan Korupsi yang Dilakukan
- Kasus Pemberian Suap
Pada dakwaan pertama, Mbak Ita dan suaminya terbukti menerima suap senilai Rp2 miliar dari Ketua Gapensi Kota Semarang, Martono, serta Rp1,75 miliar dari Direktur PT Deka Sari Perkasa, Rachmat P. Jangkar. Uang tersebut diberikan untuk memudahkan pelaksanaan proyek-proyek pada tahun 2023 dan 2024. - Iuran Kebersamaan Pegawai Pemkot Semarang
Pada dakwaan kedua, keduanya menerima setoran tambahan operasional yang bersumber dari iuran kebersamaan pegawai Badan Pendapatan Daerah Kota Semarang yang totalnya mencapai Rp3,083 miliar. Mbak Ita menerima bagian terbesar, yakni Rp1,883 miliar, yang disalurkan melalui beberapa tahap, termasuk pembayaran hadiah lomba dan biaya acara pribadi. - Gratifikasi Proyek Konstruksi
Pada dakwaan ketiga, mereka juga menerima gratifikasi sebesar Rp2 miliar dari Martono terkait dengan fee 13 persen atas pekerjaan penunjukan langsung di kecamatan yang bersumber dari Gapensi Semarang. Uang tersebut diberikan melalui Alwin Basri pada Juni dan Juli 2023.
Hukuman Tambahan dan Uang Pengganti
Selain hukuman penjara dan denda, hakim juga menjatuhkan hukuman tambahan berupa uang pengganti kerugian negara. Mbak Ita diharuskan membayar sebesar Rp683 juta, sementara Alwin Basri dikenakan uang pengganti senilai Rp4 miliar. Jika mereka gagal membayar uang pengganti, maka akan digantikan dengan kurungan tambahan.
Reaksi dan Proses Hukum Selanjutnya
Setelah putusan dibacakan, baik penuntut umum maupun kedua terdakwa diberikan waktu untuk berpikir. Sementara itu, masyarakat menunggu apakah ada upaya banding yang akan diajukan oleh para terdakwa.