Live Program UHF Digital

Mendiktisaintek: Pendidikan Harus Sesuaikan dengan Perkembangan Automasi

JAKARTA – Pada tahun 2030, diperkirakan sekitar 23 juta pekerjaan akan digantikan oleh automasi di Indonesia. Oleh karena itu, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, mengimbau perguruan tinggi agar mempertimbangkan relevansi ilmu yang diajarkan kepada mahasiswa.

“Teman-teman kampus sekalian perlu hati-hati, jangan didik anak-anak kita dengan ilmu yang segera diganti oleh automasi. Kita harus cari cara lain, didik anak-anak kita dengan ilmu yang masih akan ada pada tahun-tahun ke depan,” ungkap Satryo di Jakarta, Kamis (19/12).

Meskipun 23 juta pekerjaan diprediksi hilang, Satryo menambahkan bahwa peluang pekerjaan baru yang muncul berkisar antara 27 hingga 46 juta. Namun, tantangannya adalah pekerjaan-pekerjaan baru ini merupakan jenis yang belum pernah ada sebelumnya.

“Ini tantangan untuk kita semua, terutama teman-teman di kampus, bagaimana kita bisa mengajarkan anak didik kita ilmu yang kita tidak tahu. Kalau saya sekarang ngajar di ITB dengan ilmu yang saya tahu zaman dulu, udah gak cocok,” jelas Satryo.

Menurutnya, ada kesenjangan antara ilmu yang dikuasai saat ini dengan kebutuhan masa depan. Bahkan, Satryo menyebutkan terdapat 10 juta pekerjaan yang belum diketahui bagaimana cara mengajarkannya. Namun, ia meyakini bahwa dosen tidak akan digantikan oleh kecerdasan buatan (AI). Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya perubahan dalam cara pengajaran.

“Kita mesti berubah. Kita harus learn, unlearn, dan relearn. Ubah cara kita mengajari mahasiswa dengan cara yang sesuai dengan masa depan,” tambahnya.

Selain itu, Satryo juga menyoroti pentingnya penguatan kemampuan literasi. Dalam surveinya terhadap 500 CEO Indonesia, ia menanyakan satu pertanyaan mengenai kelemahan utama yang dimiliki oleh lulusan S1 perguruan tinggi Indonesia. Hasilnya, kelemahan terbesar adalah rendahnya kemampuan membaca, diikuti dengan kelemahan dalam menulis, etos kerja, dan komunikasi.

“99,9% CEO menjawab, yang paling tinggi sekali persentase kelemahannya, tidak bisa baca, gak bisa memaknai bacaan. Berikutnya, tidak bisa menulis. Masuk akal, bagaimana bisa menulis kalau tidak bisa membaca,” jelasnya.

Satryo mengingatkan, penting bagi kampus untuk memastikan bahwa mahasiswa memiliki kemampuan literasi baca yang baik. “Jadi kalau kita mau benahi kampus kita, gampang, perbaiki baca mereka, lalu menulis, work habit ditingkatkan, rajin dan sebagainya. Komunikasi dan teamwork juga harus dibentuk,” tutupnya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *