JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa masyarakat adat yang tinggal secara turun-temurun di kawasan hutan diperbolehkan melakukan kegiatan berkebun subsisten tanpa memerlukan izin khusus dari pemerintah, selama tidak bertujuan komersial.
Putusan ini menjadi angin segar bagi komunitas adat di berbagai wilayah Indonesia yang bergantung pada hutan untuk kelangsungan hidup sehari-hari.
Putusan bernomor 137/PUU-XXI/2023 ini dibacakan dalam sidang pada Selasa (15/10/2025) di Gedung MK, Jakarta. MK menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 jika diartikan secara sempit.
Pasal tersebut sebelumnya mengatur bahwa hutan hanya boleh dimanfaatkan untuk kepentingan negara atau pihak ketiga dengan izin resmi.
“Dalam putusan ini, kami menegaskan bahwa masyarakat hukum adat yang secara turun-temurun mendiami kawasan hutan memiliki hak untuk memanfaatkan hasil hutan secara tradisional untuk kebutuhan subsisten,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
Menurut MK, kegiatan seperti berkebun untuk konsumsi pribadi atau keluarga tidak termasuk dalam kategori pemanfaatan komersial yang memerlukan izin.
Hal ini didasarkan pada pengujian yang diajukan oleh sejumlah warga adat dari Kalimantan dan Sumatra, yang merasa terhambat oleh regulasi kehutanan yang kaku.
Pengujian ini bermula dari keluhan masyarakat adat yang sering berbenturan dengan aparat kehutanan. Mereka mengklaim bahwa aktivitas tradisional seperti mengumpulkan hasil hutan atau bercocok tanam kecil-kecilan sering dikriminalisasi sebagai perambahan ilegal.
Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan, setidaknya 2,3 juta hektare wilayah adat di Indonesia masih tumpang tindih dengan kawasan hutan negara, menyebabkan konflik berkepanjangan.
Putusan MK ini tidak hanya melindungi hak adat, tapi juga mendorong pemerintah untuk merevisi regulasi kehutanan.
“Pemerintah wajib mengakui dan melindungi hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alamnya,” tambah Suhartoyo, mengutip Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Para ahli hukum lingkungan menyambut baik keputusan ini. “Ini langkah maju untuk keseimbangan antara konservasi hutan dan hak asasi manusia,” ujar pakar hukum lingkungan dari Universitas Indonesia, Dr. Andi Hamzah, dalam wawancara terpisah.
Implikasi bagi Kebijakan Kehutanan
Dengan putusan ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diharapkan segera menyesuaikan peraturan turunan. KLHK sebelumnya menyatakan akan mematuhi putusan MK dan mulai memetakan wilayah adat untuk menghindari konflik di masa depan.
Hingga kini, sekitar 12 juta hektare hutan adat telah diakui melalui skema perhutanan sosial, tapi masih banyak yang tertunda.
Bagi masyarakat adat, keputusan ini membuka peluang akses lebih luas terhadap sumber daya alam tanpa ancaman pidana. Namun, MK menekankan batasan ketat: segala bentuk eksploitasi komersial tetap wajib izin untuk menjaga kelestarian hutan Indonesia yang mencapai 125 juta hektare.
Putusan ini juga relevan dengan isu global seperti perubahan iklim, di mana masyarakat adat sering menjadi penjaga hutan terbaik. Menurut laporan WWF Indonesia, hutan yang dikelola adat memiliki tingkat deforestasi 50 persen lebih rendah dibanding kawasan negara.




