PARIS, PRANCIS – Reza Pahlavi, putra mahkota terakhir Iran yang kini hidup dalam pengasingan, kembali mengguncang panggung internasional dengan pernyataan tegasnya untuk mengakhiri kekuasaan rezim Ayatollah Ali Khamenei.
Dalam konferensi pers di Paris pada Juni 2024, Pahlavi menyerukan revolusi damai demi menyelamatkan Iran dari cengkeraman pemerintahan yang ia sebut sebagai “biang kehancuran” rakyat dan sumber ketegangan regional.
Kritik Tajam terhadap Rezim Khamenei
Pahlavi tidak menahan diri dalam mengkritik rezim Iran. Ia menyebut pemerintahan saat ini telah menjerumuskan rakyat ke dalam penindasan dan krisis ekonomi, sambil memicu konflik di Timur Tengah. “Jika Khamenei turun, ia akan mendapat pengadilan yang adil, sesuatu yang tak pernah ia berikan kepada rakyat Iran,” tegas Pahlavi, menggarisbawahi komitmennya terhadap keadilan.
Menurutnya, ambisi nuklir Iran hanya bisa dihentikan melalui pemerintahan demokratis yang mendukung nilai-nilai sekuler dan kebebasan individu.
Dalam langkah yang kontroversial, Pahlavi secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap Israel dan Barat, sebuah strategi yang diyakini untuk memperoleh dukungan internasional sekaligus menegaskan penolakannya terhadap rezim saat ini.
Momentum “Tembok Berlin” Iran
Pahlavi menilai serangan militer AS dan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran sebagai titik balik. Ia menyebutnya sebagai “momentum Berlin Wall” yang dapat melemahkan struktur kekuasaan rezim dan membuka jalan bagi perubahan. “Serangan ini telah mengguncang fondasi kekuasaan Khamenei dan menyalakan harapan baru di hati rakyat Iran,” ujarnya.
Untuk mewujudkan visinya, Pahlavi mengusulkan pembentukan “national unity summit” yang menggandeng berbagai elemen masyarakat, termasuk oposisi, profesional, pelaku bisnis, hingga anggota militer. Ia bahkan membuka komunikasi dengan aparat keamanan yang mulai goyah kesetiaannya terhadap rezim, menawarkan visi transisi damai menuju pemerintahan baru.
Transisi Damai atau Ambisi Pribadi?
Meski menolak tuduhan ingin merebut kekuasaan, Pahlavi menyatakan kesiapannya menjadi pemimpin sementara selama masa transisi. Ia menegaskan bahwa tujuannya adalah membangun Iran yang demokratis, dengan prinsip sekularisme, kesetaraan, dan pemisahan agama dari negara. Namun, ia menegaskan bahwa proses ini hanya mungkin terjadi jika Khamenei bersedia mundur secara sukarela, diikuti dengan pengadilan yang transparan.
Gagasan Pahlavi menuai tanggapan beragam. Sebagian analis memuji visinya sebagai langkah berani menuju demokrasi, namun yang lain memperingatkan potensi kekacauan pasca-rezim, seperti yang terjadi di Irak dan Libya akibat intervensi militer. Ketergantungan pada dukungan Barat dan Israel juga dinilai dapat memicu polarisasi di dalam negeri.
Pahlavi optimistis bahwa persatuan rakyat Iran dan dukungan komunitas internasional dapat mengakhiri dekade penindasan. Dengan menyerukan kolaborasi lintas sektor dan dialog dengan aparat keamanan, ia berharap mampu menciptakan perubahan tanpa kekerasan. Namun, tantangan terbesar tetap ada: bagaimana mewujudkan transisi damai di tengah dinamika politik yang kompleks?