JAKARTA – Sebuah rumah sakit ibu dan anak di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, menjadi sorotan publik setelah dugaan tunggakan pembayaran gaji tenaga medis mencuat ke permukaan.
RSIA Kartini, yang berada di bawah kepemilikan Eisenhower Sitanggang—tersangka kasus korupsi mobil karavan Covid-19—dilaporkan menunggak gaji hingga miliaran rupiah.
Kasus ini terungkap setelah Latifurrizal, suami salah satu dokter spesialis anak yang terdampak, melayangkan pengaduan resmi ke Bupati Bandung Barat, Jeje Ritchie Ismail, pada 23 Juli 2025.
Dalam suratnya, Rizal menuntut penegakan aturan ketenagakerjaan dan transparansi dari manajemen RSIA Kartini yang diduga menelantarkan hak-hak pekerjanya sejak bertahun-tahun.
“Betul, kemarin saya mengirim surat kepada Bupati Bandung Barat. Ini menyangkut seorang pejabat di sana (Eisenhower) yang juga pemilik RSIA Kartini Padalarang, karena telah melanggar aturan ketenagakerjaan,” ujar Rizal, Senin (28/7/2025).
Mediasi Berujung Buntu
Masalah tunggakan ini sebenarnya telah diproses sejak April 2022 melalui mediasi yang diinisiasi dengan merujuk pada Undang-Undang Cipta Kerja dan Permenkes Nomor 4 Tahun 2018 serta Nomor 17 Tahun 2023.
Dalam pertemuan tersebut, Direktur RSIA Kartini, dr Marsel Risandi, bahkan menandatangani kesepakatan pembayaran sebesar Rp1,1 miliar.
Namun, kesepakatan itu tidak pernah terealisasi lantaran bagian keuangan rumah sakit menolak menandatangani, yang diduga kuat akibat intervensi langsung dari pemilik rumah sakit.
“Kami melihat tidak ada iktikad baik dari rumah sakit maupun dari owner,” terang Rizal.
Atas dasar itu, laporan pun dilayangkan ke UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah IV Bandung pada November 2022.
Sayangnya, balasan dari UPTD yang diterima Maret 2023 dianggap tidak memihak, bahkan cenderung melemahkan laporan.
Pihak UPTD menyebut permasalahan ini sekadar selisih perhitungan gaji, bukan bentuk diskriminasi maupun pelanggaran sistemik.
Pola Tunggakan Terstruktur Sejak 2020
Rizal membeberkan bahwa kontrak kerja istrinya di RSIA Kartini dimulai pada 2019 dan berlangsung hingga Desember 2023.
Namun, tunggakan gaji telah terjadi sejak tahun kedua kontrak berjalan.
Gaji bulan April hingga November 2020 tak dibayar, sementara periode Desember 2020 hingga Maret 2021 baru dibayarkan sebagian, tanpa melunasi tunggakan lama.
Pada Desember 2022, gaji pokok sebesar Rp75 juta sempat dibayarkan, dua hari setelah kontrak sang istri dihentikan sepihak tanpa pemberitahuan resmi.
Lebih lanjut, Rizal mempertanyakan integritas hasil pemeriksaan internal UPTD yang dilakukan awal Desember 2022, sebab tidak dilampirkan rincian temuan yang bisa menjelaskan alasan rumah sakit menunggak.
Menurut Rizal, RSIA Kartini sebagai mitra BPJS seharusnya memiliki alur pembayaran upah yang jelas. Ia mendesak kejelasan soal dana klaim BPJS di bulan-bulan di mana gaji tidak dibayarkan.
“Upah tenaga medis seharusnya masuk dalam klaim ke BPJS. Kenapa di bulan saat RSIA membayar gaji, angkanya tidak dijumlahkan dengan tunggakan sebelumnya. Klaim BPJS di bulan-bulan nunggak itu masuk ke mana uangnya,” tegasnya.
Laporan Sampai ke Presiden
Walau RSIA Kartini sempat mencicil tunggakan senilai Rp1,1 miliar dalam lima termin, Rizal menilai manajemen rumah sakit belum menunjukkan itikad menyelesaikan kewajiban secara penuh. Denda dan sisa tunggakan masih menjadi tanggungan yang tak kunjung dibayar.
Upaya Rizal dalam mencari keadilan tidak berhenti pada satu instansi. Ia telah menyurati Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, Komnas HAM, Ombudsman, KPK, bahkan Presiden RI, serta Gubernur Jawa Barat dan DPRD Jabar.
Menurutnya, tindakan ini dilakukan untuk membela hak-hak tenaga medis secara menyeluruh, bukan hanya untuk istrinya.
“Saya lakukan ini untuk pelajaran ke depannya. Karena bukan hanya terjadi sama istri saya. Ada sekitar lima orang tenaga medis lain di sana yang juga mengaku mengalami hal serupa. Itu ada buktinya,” tandasnya.***




