Hubungan diplomatik Jepang dan Tiongkok kembali memasuki titik terendah sejak 2012. Pemicu utamanya adalah pernyataan Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, yang menegaskan kemungkinan intervensi militer Tokyo jika Beijing mengambil langkah yang dianggap sebagai “ancaman eksistensial” terhadap Taiwan. Pernyataan tersebut langsung memicu respons keras dari Tiongkok, memantik eskalasi cepat dalam hitungan hari.
Dampaknya terasa seketika. Dalam dua minggu, ratusan ribu wisatawan Tiongkok membatalkan perjalanan ke Jepang, membuat saham-saham sektor pariwisata di Tokyo merosot hingga 10%. Pemerintah Tiongkok bahkan mengeluarkan imbauan resmi agar warganya menghindari kunjungan ke Jepang.
Sebagai respons, pemerintah Jepang menerbitkan peringatan keamanan bagi warganya yang berada di Tiongkok, meminta mereka menjauhi kerumunan dan meningkatkan kewaspadaan. Ketegangan dua kekuatan Asia Timur ini semakin menimbulkan kekhawatiran akan stabilitas kawasan yang kembali goyah.
Eskalasi ini tak hanya diplomatik, tapi juga ekonomi. Saham maskapai seperti ANA dan JAL turun 8-12% di Bursa Tokyo, sementara hotel-hotel di Kyoto dan Tokyo melaporkan okupansi turun 40% dalam semalam. Bloomberg mencatat bahwa Tiongkok, sebagai pasar wisata terbesar Jepang (kontribusi 30% pendapatan sektor ini), kini jadi “senjata” Beijing untuk tekan Tokyo. “Ini bukan boikot biasa; ini pesan bahwa perdagangan bebas tak kebal dari politik,” ujar analis ekonomi dari Nomura Securities, Hiroki Inoue.
Di ranah keamanan, situasi semakin mencekam. Pada 16 November, Angkatan Udara Jepang mengerahkan jet tempur untuk usir drone Tiongkok yang terdeteksi dekat Kepulauan Okinawa – wilayah yang diklaim Beijing sebagai bagian dari “laut Tiongkok Timur”. Buku Putih Militer Jepang 2025, yang dirilis pekan lalu, menyebut Tiongkok lebih dari 1.000 kali sebagai “ancaman utama”, memicu tuduhan “revansisme” dari Beijing.
Pemerintah Jepang merespons dengan peringatan darurat bagi 120.000 warganya di Tiongkok: “Hindari kerumunan, patuhi adat lokal, dan siapkan rencana evakuasi.”
Latar Belakang dan Prospek: Konflik Historis yang Kembali Mengemuka
Ketegangan ini bukan yang baru. Sejak sengketa Kepulauan Senkaku/Diaoyu pada 2012, hubungan kedua raksasa Asia ini sering tegang, terutama soal Taiwan – sekutu dekat Jepang dan AS. Buku Putih Militer Jepang 2025 menyoroti “peningkatan cepat kemampuan militer Tiongkok”, sementara Beijing menuduh Tokyo “mendorong agenda AS” di Indo-Pasifik.
Para pakar memperingatkan risiko eskalasi. “Jika Takaichi tak mundur, ini bisa picu konflik militer terbatas di Laut Tiongkok Timur,” kata profesor hubungan internasional Universitas Tokyo, Ken Jimbo. Namun, ada harapan: Pertemuan APEC di Peru akhir November bisa jadi forum de-eskalasi, meski kedua pemimpin mungkin menghindari pertemuan bilateral.
Sementara itu, warga biasa di kedua negara menanti. Seorang turis Jepang di Shanghai, Yuki Tanaka, bilang: “Saya khawatir pulang; suasana di sini tiba-tiba dingin.” Di Tokyo, pemilik restoran ramen yang bergantung pada turis Tiongkok mengeluh: “Kami butuh perdamaian, bukan perang kata-kata.”
Ketegangan ini mengingatkan dunia: Di Asia Timur, satu pernyataan salah bisa mengguncang ekonomi global. Apakah ini awal dari “Perang Dingin Baru”, atau sekadar gertakan politik? Pantau terus, karena Selat Taiwan kian panas.