JAKARTA – Upaya tegas pemerintah dalam memerangi mafia pangan beras kembali diperlihatkan secara nyata.
Kali ini, skandal besar terungkap setelah Satgas Pangan Polri memeriksa 26 merek beras premium yang diduga kuat memanipulasi mutu produk.
Dugaan ini mencuat usai Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman membeberkan adanya praktik tidak jujur oleh sejumlah pelaku industri beras.
Dalam keterangan resmi yang dikutip Sabtu (12/7/2025), Ketua Satgas Pangan Polri, Brigjen Pol Helfi Assegaf, menegaskan bahwa pemeriksaan dilakukan sebagai respons atas laporan Mentan, terutama terhadap beras premium yang dijual dengan mutu rendah.
“Iya, betul kami lakukan pemeriksaan terhadap yang sebelumnya disampaikan Pak Menteri Andi Amran,” ujar Helfi.
Pemeriksaan tersebut menjadi awal dari operasi gabungan besar antara Satgas Pangan, Kementerian Pertanian, dan Kejaksaan Agung, yang kini fokus membongkar jaringan pelanggaran di sektor pangan.
Helfi menyebut bahwa dari hasil investigasi, ditemukan pelanggaran dalam bentuk penjualan beras berkualitas biasa yang dikemas seolah-olah premium.
Empat Raksasa Korporasi Terlibat: 14 Merek Dikuasai Satu Kelompok
Dari total 26 merek yang diperiksa, empat perusahaan besar diduga menjadi pemain utama di balik 14 merek yang terindikasi melakukan pelanggaran.
Mereka antara lain:
1. Wilmar Group
- Sania
- Sovia
- Fortune
- Siip
2. Food Station Tjipinang Jaya
- Alfamidi Setra Pulen
- Beras Premium Setra Ramos
- Beras Pulen Wangi
- Food Station
- Ramos Premium
- Setra Pulen
- Setra Ramos
3. Belitang Panen Raya (BPR)
- Raja Platinum
- Raja Ultima
4. Sentosa Utama Lestari (Japfa Group)
- Ayana
Menurut Helfi, keempat produsen besar itu menjual beras dengan label premium namun mutu tidak sesuai standar pemerintah.
“Hasil pemeriksaan menunjukkan produk-produk ini tidak memenuhi standar mutu, berat bersih, serta harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah,” lanjutnya.
Pelanggaran Menyasar Berat, Mutu, dan Harga
Modus operandi yang dilakukan para produsen mencakup tiga aspek: pengoplosan kualitas, manipulasi berat bersih dalam kemasan, serta harga jual yang melampaui HET.
Temuan ini memicu kekhawatiran publik bahwa praktik semacam ini telah lama terjadi tanpa pengawasan ketat.
“Jika terbukti ada unsur pidana, tentu akan kami tindaklanjuti sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” tegas Helfi, yang memastikan penyelidikan tidak akan berhenti pada 26 merek saja.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Praktik manipulasi kualitas beras ini sangat memukul kepercayaan masyarakat, terutama dalam kondisi ekonomi yang masih sulit.
Pengamat hukum Universitas Bung Karno, Hudi Yusuf, mengecam keras pelanggaran tersebut, terutama dugaan keterlibatan Wilmar Group.
“Rakyat membeli beras dengan harga tinggi, tetapi kualitasnya tidak sesuai. Praktik seperti ini jelas memperburuk kondisi masyarakat dan meningkatkan beban hidup. Ini tidak pantas dilakukan saat ekonomi sedang tidak baik-baik saja,” ujar Hudi.
Lebih lanjut, Hudi menyoroti rekam jejak buruk Wilmar Group, yang sebelumnya tersangkut kasus korupsi ekspor minyak sawit (CPO) pada 2022. Ia mendesak agar aparat tidak ragu menjerat para pelaku dengan sanksi hukum maksimal.
Apresiasi untuk Kementan dan Satgas
Tindakan sigap pemerintah juga mendapat dukungan dari akademisi.
Pengamat pertanian Universitas Andalas, Muhammad Makky, menilai kerja Satgas Pangan dan Kementan layak diapresiasi, terlebih dalam kasus serupa sebelumnya seperti pupuk palsu di Sragen dan gula oplosan di Banyumas.
“Saya mengapresiasi Satgas Pangan dan Kementerian Pertanian yang konsisten memberantas mafia pangan. Saya harap kasus ini diusut sampai tuntas,” kata Makky.
Mentan Amran: Harga Naik Tak Masuk
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sebelumnya sudah menegaskan bahwa tidak ada alasan rasional harga beras naik, mengingat produksi nasional sedang mengalami lonjakan.
Bahkan data dari BPS, FAO, dan Kementerian Pertanian Amerika Serikat menyebut stok beras Indonesia tertinggi sepanjang sejarah.
“Sekarang ini tidak ada alasan harga naik. Produksi naik menurut BPS, FAO, dan Kementerian Pertanian Amerika Serikat. Stok kita juga tertinggi sepanjang sejarah. Terus alasan apa lagi harga naik?” kata Amran dalam konferensi pers di Kantor Pusat Kementan, Kamis (26/6/2025).
Kasus dugaan kecurangan oleh 26 merek beras premium membuka tabir lemahnya pengawasan terhadap industri pangan.
Pemerintah dituntut tidak hanya menindak tegas pelaku, tetapi juga memperketat standar pengemasan, distribusi, dan labelisasi produk pangan, demi melindungi hak konsumen dan menjaga stabilitas pasar.***




