JAKARTA — Ketegangan dagang kembali memanas setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, melontarkan ancaman tarif baru terhadap negara-negara BRICS.
Pemerintah Tiongkok bereaksi keras atas pernyataan tersebut, menyebut tuduhan Trump sebagai tindakan sepihak yang memicu ketidakstabilan ekonomi global.
Langkah Trump yang akan menerapkan tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap negara yang dianggap “anti-Amerika” dinilai Beijing sebagai kebijakan proteksionis yang menyesatkan.
Tiongkok memperingatkan bahwa pendekatan seperti itu berisiko merusak tatanan perdagangan internasional yang adil dan terbuka.
Dalam konferensi pers resmi yang digelar pada Minggu (7/7/2025), juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Mao Ning, menegaskan bahwa BRICS bukan aliansi konfrontatif dan tidak ditujukan untuk menyaingi kekuatan manapun, termasuk AS.
“BRICS adalah platform penting untuk kerja sama antarnegara berkembang di pasar negara-negara berkembang,” ujarnya.
BRICS Soroti Ancaman Ketidakpastian Global
Mao menyatakan bahwa kelompok BRICS menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, inklusivitas, dan kolaborasi sukarela di antara negara-negara anggotanya.
Ia menambahkan, strategi proteksionisme dan kebijakan tarif sepihak tidak akan membawa manfaat jangka panjang bagi siapapun.
“Posisi kami terhadap kenaikan tarif oleh AS sudah disampaikan berulang kali,” tegasnya.
Dalam pandangan Beijing, perang tarif hanya menciptakan kerugian bersama tanpa pemenang yang jelas.
Mao juga memperingatkan bahwa kebijakan semacam itu berpotensi mengganggu rantai pasokan internasional serta menciptakan ketidakpastian besar di sektor ekonomi global.
Di sisi lain, BRICS juga menyuarakan keprihatinan terhadap tren kebijakan tarif baru yang dianggap bertentangan langsung dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Mereka melihat kebijakan tersebut sebagai ancaman nyata terhadap kestabilan ekonomi lintas negara.
Dunia Waspadai Manuver Dagang AS
Pernyataan Trump ini menjadi perhatian luas dunia internasional, mengingat BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan merupakan kekuatan utama ekonomi global.
Retorika keras dari Washington dinilai sebagai bentuk tekanan politik yang dibungkus kebijakan ekonomi, yang bisa memicu reaksi serupa dari negara-negara mitra.
Beijing menyerukan agar semua pihak menghindari langkah-langkah yang dapat memperburuk iklim perdagangan global.
Tiongkok menekankan perlunya dialog yang setara dan penghormatan terhadap prinsip multilateral dalam mengatasi perbedaan.
Situasi ini semakin memperlihatkan jurang perbedaan pendekatan antara AS dan negara-negara berkembang terkait arsitektur ekonomi dunia.
Sementara Washington mengedepankan sikap unilateral, BRICS terus mendorong kerja sama yang saling menguntungkan dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.***




