Sedikitnya 26 orang tewas dan ratusan ribu lainnya mengungsi setelah Topan Kalmaegi mengguyur wilayah tengah Filipina dengan hujan deras yang memicu banjir besar pada Selasa (4/11/2025).
Di Provinsi Cebu, yang menjadi salah satu daerah terdampak paling parah, 21 orang dilaporkan meninggal dunia, menurut keterangan Wakil Administrator Pertahanan Sipil Filipina, Rafaelito Alejandro, kepada AFP. Dengan tambahan laporan dari wilayah lain, total korban jiwa kini mencapai 26 orang.
“Sebagian besar korban meninggal karena tenggelam,” ujar Alejandro, seperti dikutip dari CNA.
Menurut Pusat Meteorologi Filipina, dalam kurun waktu 24 jam sebelum topan mendarat, wilayah sekitar Cebu City diguyur 183 milimeter hujan, jauh di atas rata-rata bulanan 131 milimeter.
Gubernur Cebu, Pamela Baricuatro, menyebut situasi di wilayahnya sebagai sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Kami kira angin akan menjadi ancaman terbesar, tapi ternyata airlah yang paling mematikan. Banjir ini benar-benar menghancurkan,” tulisnya dalam unggahan di Facebook.
Tim penyelamat masih berupaya mengevakuasi warga yang terperangkap banjir. Dua anak ditemukan tewas di Cebu City, sementara di provinsi lain, seorang lansia tenggelam di rumahnya di Leyte, dan seorang pria di Bohol tewas tertimpa pohon tumbang.
Salah satu warga Cebu City, Don del Rosario (28), menceritakan detik-detik mencekam saat air tiba-tiba naik.
“Air naik begitu cepat. Sekitar pukul 4 pagi, semuanya sudah di luar kendali—orang-orang tidak bisa keluar rumah. Dalam 28 tahun tinggal di sini, ini yang paling parah yang pernah saya alami,” ujarnya.
Badai Kalmaegi juga memperparah kondisi ribuan orang yang sebelumnya masih tinggal di tenda pengungsian setelah gempa bermagnitudo 6,9 mengguncang wilayah tersebut pada akhir September lalu.
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional Filipina, hampir 400.000 orang dievakuasi lebih awal dari jalur lintasan topan untuk menghindari dampak terburuk.
Para ilmuwan mengingatkan bahwa perubahan iklim membuat badai seperti Kalmaegi semakin intens dan tak terduga. Lautan yang lebih hangat mempercepat penguatan topan, sementara atmosfer yang lebih lembap memicu curah hujan ekstrem yang memperbesar risiko banjir mematikan.





