BOSTON – Seorang hakim federal Amerika Serikat pada Jumat mengeluarkan keputusan untuk sementara menghentikan kebijakan pemerintahan Trump yang berusaha mencabut hak Universitas Harvard dalam menerima mahasiswa asing. Kebijakan ini dikecam keras oleh Harvard yang menyebutnya sebagai bagian dari upaya Presiden Donald Trump untuk menghukum kampus tersebut karena menolak “menyerahkan independensi akademiknya.”
Keputusan ini memberikan kelegaan sementara bagi ribuan mahasiswa internasional yang sebelumnya terancam harus pindah kampus akibat kebijakan tersebut. Universitas yang berlokasi di Cambridge, Massachusetts, menyebut kebijakan itu sebagai “pelanggaran terang-terangan” terhadap Konstitusi AS dan hukum federal lainnya, serta menyatakan akan berdampak “segera dan menghancurkan” bagi universitas dan lebih dari 7.000 pemegang visa.
“Tanpa mahasiswa internasional, Harvard bukanlah Harvard,” tulis universitas berusia 389 tahun tersebut dalam gugatan yang diajukan ke pengadilan federal Boston pada hari yang sama. Saat ini, Harvard memiliki hampir 6.800 mahasiswa internasional, atau sekitar 27% dari total jumlah mahasiswa.
Langkah ini menambah eskalasi konflik antara Harvard dan Gedung Putih, di tengah upaya Trump untuk menekan berbagai institusi—mulai dari universitas, firma hukum, media, hingga pengadilan—agar mengikuti arah politik pemerintahannya. Trump dan sejumlah politisi Republik telah lama menuduh kampus-kampus elit memiliki bias berpihak ke kiri.
Harvard tidak tinggal diam. Sebelumnya, mereka telah menggugat pemotongan dana hibah federal hampir senilai $3 miliar. Baru-baru ini, pemerintah AS juga mengusulkan penghapusan status bebas pajak Harvard, menaikkan pajak pada dana abadi universitas, dan meluncurkan penyelidikan atas dugaan pelanggaran hukum hak sipil.
Leo Gerden, seorang mahasiswa asal Swedia yang akan lulus bulan ini dengan gelar sarjana ekonomi dan pemerintahan dari Harvard, menyambut baik putusan hakim tersebut.
“Ini adalah langkah awal yang luar biasa,” katanya, seraya menambahkan bahwa para mahasiswa internasional masih bersiap menghadapi perjuangan hukum yang panjang dan penuh ketidakpastian.
“Tidak ada satu pun keputusan—baik dari Trump, Harvard, maupun hakim—yang akan mengakhiri tirani yang sedang dilakukan Trump,” ujar Gerden, dilansir dari Reuters.
Dalam gugatannya, Harvard menyatakan bahwa pencabutan izin akan memaksanya menarik kembali ribuan penerimaan mahasiswa, serta menyebabkan kekacauan pada banyak program akademik, klinik, kursus, dan laboratorium riset—semuanya hanya beberapa hari menjelang wisuda. Universitas itu menilai tindakan tersebut sebagai bentuk hukuman terhadap pandangan politik tertentu, yang melanggar hak atas kebebasan berbicara sebagaimana dijamin oleh Amandemen Pertama Konstitusi AS.
Pemerintahan Trump dapat mengajukan banding atas putusan Hakim Distrik Allison Burroughs, yang ditunjuk oleh Presiden Demokrat Barack Obama. Dalam pernyataan resmi, juru bicara Gedung Putih Abigail Jackson menyatakan:
“Hakim-hakim yang tidak dipilih oleh rakyat tidak berhak menghentikan Pemerintahan Trump dalam menjalankan kontrol sahnya atas kebijakan imigrasi dan keamanan nasional.”
Sejak pelantikan Trump pada 20 Januari, pemerintahannya telah menuduh beberapa universitas bersikap abai terhadap keselamatan mahasiswa Yahudi di tengah gelombang protes kampus terkait serangan militer Israel ke Gaza.
Tanggapan hukum dari Harvard berbeda dengan Columbia University yang berada di New York, yang akhirnya menyerah pada tekanan serupa. Columbia menyetujui reformasi proses disipliner dan meninjau ulang kurikulum Timur Tengah setelah Trump mencabut dana sebesar $400 juta dengan tuduhan bahwa universitas tersebut gagal menanggulangi antisemitisme.
Pada Kamis, Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem mengumumkan pencabutan sertifikasi Harvard untuk Program Mahasiswa dan Pertukaran (Student and Exchange Visitor Program), yang akan berlaku mulai tahun akademik 2025–2026. Tanpa menyertakan bukti, ia menuduh Harvard telah “menyuburkan kekerasan, antisemitisme, dan bekerja sama dengan Partai Komunis Tiongkok.”
Harvard menyatakan bahwa sekitar 20% mahasiswa asing pada tahun 2024 berasal dari Tiongkok. Kekhawatiran terhadap pengaruh pemerintah Tiongkok di kampus-kampus AS telah disuarakan oleh anggota parlemen dari kedua kubu politik, terutama terkait kegiatan asosiasi mahasiswa Tiongkok yang disebut-sebut memantau aktivitas politik dan membungkam kebebasan akademik.
Pihak Harvard menyatakan tetap berkomitmen memerangi antisemitisme dan menyelidiki setiap tuduhan pelanggaran hak sipil secara menyeluruh.
Harvard Tegaskan Penolakan pada Tekanan Politik
Dalam perintah singkatnya, Burroughs menyatakan bahwa Harvard telah menunjukkan potensi kerugian besar jika kebijakan diberlakukan sebelum kasus disidangkan secara menyeluruh. Ia menjadwalkan sidang lanjutan pada 27 dan 29 Mei untuk menentukan langkah berikutnya. Burroughs juga menangani gugatan Harvard atas pemotongan dana hibah sebelumnya.
Presiden Harvard, Alan Garber, menuding bahwa pemerintah berupaya mencampuri urusan internal lembaga pendidikan swasta secara ilegal, termasuk kurikulum, dosen, dan penerimaan mahasiswa.
“Pencabutan ini melanjutkan serangkaian tindakan pemerintah untuk menghukum Harvard atas penolakan kami menyerahkan independensi akademik kami,” tulis Garber dalam suratnya kepada komunitas Harvard, Jumat lalu.
Selain berdampak pada kebebasan akademik, kebijakan ini juga bisa mempengaruhi keuangan Harvard. Di banyak kampus AS, mahasiswa internasional dikenal lebih sering membayar biaya kuliah penuh, yang turut menyubsidi beasiswa bagi mahasiswa lain.
Dalam pernyataannya, juru bicara Departemen Keamanan Dalam Negeri, Tricia McLaughlin, menegaskan:
“Merupakan hak istimewa—bukan hak mutlak—bagi universitas untuk menerima mahasiswa asing dan meraih keuntungan dari pembayaran kuliah mereka yang lebih tinggi.”
Nilai obligasi Harvard, bagian dari tumpukan utang universitas senilai $8,2 miliar, terus menurun sejak Trump pertama kali memperingatkan soal pemotongan pendanaan universitas pada Maret lalu.
Beberapa mahasiswa asing ternama di Harvard termasuk Cleo Carney, putri Perdana Menteri Kanada Mark Carney, dan Putri Elisabeth, pewaris takhta kerajaan Belgia.