JAKARTA – Utang nasional Amerika Serikat (AS) terus membengkak hingga melebihi US$37,86 triliun pada September 2025, mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah. Lonjakan ini memicu peringatan keras dari miliarder investor Ray Dalio, pendiri Bridgewater Associates, yang memprediksi potensi krisis keuangan parah dalam tiga tahun ke depan.
Dalio, yang juga menjabat sebagai penasihat Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) Indonesia, menyoroti risiko spiral utang yang bisa mengguncang pasar global, termasuk inflasi tinggi dan pelemahan dolar AS.
Peningkatan utang AS ini berakar pada kebijakan stimulus ekonomi selama pandemi Covid-19, yang menambah beban triliunan dolar melalui perluasan tunjangan pengangguran dan program bantuan. Sayangnya, hal ini berbarengan dengan siklus kenaikan suku bunga Federal Reserve pada 2022–2024, membuat biaya pinjaman pemerintah melonjak tajam.
Kini, pembayaran bunga utang menjadi salah satu pengeluaran anggaran terbesar, sementara defisit nasional tahun ini diproyeksikan mencapai US$1,97 triliun. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) AS pun berada pada level mengkhawatirkan, di mana pertumbuhan utang jauh melebihi laju pendapatan negara.
Dalio, yang telah lama mengkritik ketergantungan AS pada pinjaman berlebih, membandingkan situasi ini dengan keruntuhan kerajaan-kerajaan kuno yang gagal karena “tembok pertahanan” ekonomi mereka runtuh. Ia menekankan bahwa ketika utang tumbuh lebih cepat daripada PDB, kepercayaan investor bisa hilang, memicu ketidakstabilan pasar.
“Dalam siklus utang klasik, Anda pasti mencapai titik di mana Anda harus meminjam untuk membayar utang. Hal ini dapat menyebabkan spiral utang dan serangan jantung ekonomi,” ujarnya melalui akun X, dikutip Jumat (3/10).
Risiko ini tak hanya terbatas pada AS. Dalio memperingatkan dampak riak ke seluruh dunia, termasuk ancaman terhadap dominasi dolar sebagai mata uang cadangan global. Jika investor asing beralih ke alternatif seperti aset Cina, tatanan moneter internasional bisa terguncang.
“Anda melihat ancaman terhadap tatanan moneter,” kata Dalio saat berbicara di Forum Global Future China di Singapura pada akhir September.
Untuk mengantisipasi badai utang AS, Dalio merekomendasikan strategi diversifikasi portofolio bagi investor. Obligasi pemerintah AS, yang selama ini dianggap aset paling aman, berpotensi anjlok harganya jika imbal hasil terus naik akibat tekanan fiskal.
“Itulah mengapa ada baiknya Anda melihat aset pendapatan tetap lainnya seperti perusahaan-perusahaan kelas investasi dan obligasi pemerintah. Anda bahkan mungkin ingin melihat obligasi asing yang diterbitkan oleh pemerintah yang memiliki kondisi keuangan yang lebih baik daripada AS,” sebutnya.
Selain itu, Dalio menyarankan alokasi ke emas sebagai lindung nilai inflasi, komoditas untuk penyangga saat mata uang fiat melemah, serta instrumen likuid seperti rekening tabungan berimbal hasil tinggi atau sertifikat deposito (CD) jangka menengah.
“Jangan terlalu panik menanggapi hal ini,” tambahnya, meski menekankan pentingnya fleksibilitas keuangan di tengah ketidakpastian.
Di Indonesia, peran Dalio semakin relevan sejak ditunjuk sebagai penasihat BPI Danantara pada 24 Maret 2025. Pengalaman panjangnya di bidang keuangan global, termasuk interaksi dengan sovereign wealth fund berbagai negara, membuatnya menjadi aset berharga bagi inisiatif investasi Presiden Prabowo Subianto.
Dengan kekayaan bersih US$14 miliar (sekitar Rp228 triliun) menurut Forbes, Dalio menduduki peringkat 171 orang terkaya dunia, menegaskan pengaruhnya dalam diskusi utang AS dan stabilitas ekonomi global.
Peringatan Dalio ini datang di tengah kekhawatiran Wall Street akan krisis keuangan, meski tak semua analis setuju dengan skenario terburuk. Namun, tren utang AS yang eksponensial sejak 2020 menuntut kewaspadaan, terutama bagi investor yang bergantung pada pasar AS.