JAKARTA – Urbanisasi global yang tidak terkendali telah menciptakan krisis permukiman kumuh yang mengancam miliaran nyawa. Lebih dari 800 juta orang di seluruh dunia kini hidup dalam kondisi kumuh yang penuh risiko kesehatan dan sosial.
Kawasan-kawasan ini ditandai oleh rumah tidak layak huni, kepadatan ekstrem, serta minimnya akses terhadap air bersih, sanitasi, dan listrik. Wilayah kumuh menjadi simbol ketimpangan yang mencolok di negara-negara berkembang.
Data terkini dari UN-Habitat, World Bank, dan estimasi Worldometer awal tahun 2025 menunjukkan bahwa 10 negara teratas menyumbang lebih dari 550 juta penduduk kumuh—sepertiga dari total global—menyoroti perlunya penanganan mendesak untuk mencegah bencana kemanusiaan yang lebih besar.
Migrasi massal dari pedesaan ke kota menjadi pemicu utama. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi belum diimbangi dengan pembangunan infrastruktur perumahan terjangkau. Indonesia, sebagai negara dengan populasi urban yang terus meningkat, menempati posisi kelima dengan 33 juta jiwa hidup di permukiman kumuh. Kondisi ini menuntut tindakan cepat dari pemerintah untuk menghindari dampak jangka panjang, seperti penyebaran penyakit dan konflik sosial.
Akar Masalah, Urbanisasi dan Ketimpangan Ekonomi
Fenomena ini mencerminkan kegagalan sistem global dalam mengelola lonjakan penduduk perkotaan. Di Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara, jutaan migran datang ke kota-kota besar seperti Mumbai atau Lagos untuk mencari pekerjaan, namun berakhir tinggal di gubuk ilegal tanpa hak atas tanah.
Laporan Business Insider Africa edisi 18 Mei 2025 mengungkap bahwa negara-negara dengan kesenjangan pendapatan tinggi menjadi yang paling rentan. Korupsi dan bencana alam seperti banjir memperparah kondisi. Program relokasi sering kali gagal karena biaya yang tinggi, sementara pandemi dan perubahan iklim menambah tekanan, menjadikan kawasan kumuh sebagai pusat penyebaran penyakit seperti kolera dan TBC.
Bagi negara-negara terdampak, mengatasi kawasan kumuh bukanlah pilihan, tetapi keharusan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB. Solusi dapat datang dari investasi pada perumahan inklusif dan penciptaan lapangan kerja lokal, namun ini membutuhkan komitmen internasional, alih teknologi, dan pembiayaan ramah lingkungan.
Peringkat 10 Negara dengan Penduduk Kumuh Terbanyak (2025)
Berdasarkan jumlah absolut, bukan persentase terhadap populasi
1. India (1,460 juta jiwa)
- 262 juta penduduk kumuh
- Kota-kota seperti Delhi dan Mumbai menjadi simbol kemiskinan urban kronis akibat migrasi pedesaan masif.
2. Nigeria (237,5 juta jiwa)
- 64 juta penduduk kumuh
- Terutama di Lagos, kota yang mengalami kepadatan berlebih dan infrastruktur yang tertinggal.
3. Bangladesh (175,7 juta jiwa)
- 41 juta penduduk kumuh
- Dhaka menjadi pusat kemiskinan urban, rawan banjir, dan sangat padat.
4. Pakistan (255,2 juta jiwa)
- 40 juta penduduk kumuh
- Terkonsentrasi di Karachi dan Lahore, dengan hambatan politik terhadap rehabilitasi.
5. Indonesia (285,7 juta jiwa)
- 33 juta penduduk kumuh
- Terutama di Jakarta, Surabaya, dan Bandung, yang rawan banjir dan polusi. Program pemerintah seperti “Kota Tanpa Kumuh (Kotaku)” mulai menunjukkan hasil.
6. Brasil (212,8 juta jiwa)
- 32 juta penduduk kumuh
- Di kawasan favela seperti di Rio de Janeiro dan Sao Paulo, dengan tantangan tambahan seperti kekerasan geng.
7. Republik Demokratik Kongo (112,8 juta jiwa)
- 31 juta penduduk kumuh
- Terutama di Kinshasa, diperparah konflik dan kurangnya sumber daya.
8. Ethiopia (135,5 juta jiwa)
- 22 juta penduduk kumuh
- Terjebak di tengah pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, khususnya di Addis Ababa.
9. Filipina (115 juta jiwa)
- 21 juta penduduk kumuh
- Konsentrasi terbesar di Manila, yang rentan terhadap topan dan gempa.
10. Kenya (57,5 juta jiwa)
- 10 juta penduduk kumuh
- Kibera di Nairobi menjadi contoh nyata dampak urbanisasi tak terkendali.
Fokus Indonesia, Dari Krisis ke Peluang Reformasi Urban
Dengan sekitar 11,5 persen dari populasi nasional hidup di kawasan kumuh, Indonesia menghadapi tantangan besar. Setiap tahun, urbanisasi bertambah 4-5 juta orang, memperberat tekanan pada kota besar, terutama dalam konteks iklim tropis yang mempercepat kerusakan lingkungan.
Program Sejuta Rumah dan penataan sungai Ciliwung telah merelokasi ribuan keluarga. Namun, para ahli menyarankan pendekatan lebih menyeluruh, seperti:
- Integrasi teknologi smart city
- Pemberdayaan komunitas lokal
- Kemitraan publik-swasta untuk pembangunan hunian vertikal terjangkau
Secara global, pengurangan kawasan kumuh berpotensi menghemat triliunan dolar biaya kesehatan. Bagi Indonesia, ini merupakan peluang strategis untuk menjadikan kota-kotanya sebagai pusat pertumbuhan berkelanjutan, dengan catatan tetap mengutamakan inklusi sosial.
PBB memperkirakan bahwa pada tahun 2050, tanpa intervensi serius, jumlah penduduk kumuh global bisa melonjak hingga 3 miliar orang—dengan Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan dengan pertumbuhan tercepat.




