JAKARTA – Menjelang akhir tahun, Indonesia berpotensi menghadapi cuaca ekstrem akibat kemunculan tiga pusat tekanan rendah secara simultan di wilayah selatan kepulauan. Prediksi ini muncul dari analisis model cuaca global dan memicu peringatan dini bagi masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap hujan lebat, angin kencang, serta gelombang tinggi mulai 16 Desember mendatang.
Berdasarkan data European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) beresolusi 9 km yang diakses melalui platform Ventusky pada pukul 11.45 WIB, fenomena ini diproyeksikan terjadi sekitar pukul 01.00 WIB pada tanggal tersebut. Tiga pusat tekanan rendah itu berpotensi memicu badai tropis dan curah hujan tinggi berskala luas.
“Kondisi seperti ini sangat jarang terjadi. Ibaratnya, tiga mesin penarik awan hujan raksasa akan menyala bersamaan, dan itu bisa memicu badai tropis serta hujan ekstrem skala luas,” ujar Dr. Armi Susandi pakar hidrometeorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Menurut peta prediksi, pusat tekanan rendah pertama berada di selatan Jawa yang mempengaruhi Jawa Tengah, Banten, dan Lampung. Sistem kedua muncul di selatan Bali hingga Nusa Tenggara, sementara yang ketiga berada di barat daya Sumatra. Faktor pendukung seperti suhu permukaan laut yang lebih hangat dari normal di Laut Jawa hingga Nusa Tenggara Timur, aliran uap air masif dari Laut China Selatan, serta anomali angin basah dari Australia, memperkuat potensi cuaca ekstrem tersebut.
“Yang mengkhawatirkan, ‘bahan bakar’ untuk sistem ini sangat melimpah,” jelas Dr. Armi yang baru mengikuti COP30 di Belém, Brasil. Kombinasi elemen tersebut menciptakan kondisi ideal bagi pembentukan awan konvektif yang dapat berujung pada bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor.
Wilayah yang paling berisiko mencakup pesisir barat dan selatan Sumatra, termasuk Bengkulu, Lampung (Metro dan Kalianda), serta Sumatra Selatan bagian timur. Hujan dengan intensitas tinggi berpotensi memicu banjir bandang dan longsor di pegunungan Bukit Barisan. Di Jawa, Madura, dan Bali, kawasan pesisir selatan seperti Cilacap, Purworejo, Yogyakarta, Pacitan, Trenggalek, dan Banyuwangi menjadi area perhatian khusus. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya juga rentan mengalami genangan akibat limpasan dari pegunungan dan hujan lokal intens. Bali, terutama Tabanan, Buleleng, dan Gianyar, termasuk dalam zona risiko tinggi.
Di kawasan timur, NTB seperti Lombok dan Sumbawa serta NTT termasuk Flores, Sumba, dan Timor, berpotensi mengalami hujan berkepanjangan yang dapat memicu banjir di wilayah lembah.
Dampak cuaca ekstrem ini bisa menjalar ke berbagai sektor. Bencana sekunder seperti longsor di Bogor (Puncak), Sukabumi, Garut, hingga lereng Merapi–Merbabu menjadi ancaman serius. Banjir rob di Jakarta Utara, Semarang, dan Surabaya bagian bawah juga berisiko meningkat. Di sektor transportasi, potensi kabut tebal dan angin samping dapat mengganggu operasional bandara, sementara gelombang tinggi bisa memaksa pembatalan layanan penyeberangan di Selat Sunda hingga Selat Lombok. Jalur darat seperti lintas selatan Jawa atau Trans-Sumatra pun berpotensi terganggu.
Sektor ekonomi tidak luput dari ancaman. Lahan pertanian di sentra pangan seperti Karawang, Subang, Klaten, dan Bali berisiko mengalami kerusakan akibat genangan. Tambak pesisir juga terancam oleh ombak besar dan perubahan kadar garam air secara tiba-tiba.
Dalam konteks musim hujan tahun ini, Dr. Armi menekankan dinamika atmosfer yang sangat fluktuatif. “Musim hujan 2025, dengan anomali suhu laut yang hangat dan dinamika global tertentu, memang membawa potensi peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian ekstrem. Fenomena ‘triple low’ ini adalah salah satu skenario terburuknya. Meski belum pasti, ketidaktentuan itu sendiri adalah alasan untuk bersiap. Kesiapan kita hari ini akan menentukan ketahanan kita besok,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa interaksi sistem tekanan rendah berskala besar dengan faktor lokal bisa mengubah prediksi secara signifikan. “Interaksi antara sistem skala besar seperti tekanan rendah tersebut dengan sistem skala lokal seperti angin darat-laut, bayangan gunung, atau gangguan kecil lainnya dapat secara signifikan menggeser lokasi, waktu, dan intensitas prediksi potensi hujan ekstrem,” jelasnya.
Karena itu, ia menegaskan pentingnya pemantauan berkala. “Kami selalu menekankan pentingnya memantau pembaruan informasi dari BMKG setiap 6 hingga 12 jam, terutama menjelang tanggal prediksi. Perubahan signifikan sangat mungkin terjadi,” tegas Dr. Armi.
Pemerintah dan masyarakat diminta meningkatkan koordinasi, mempersiapkan langkah mitigasi, termasuk evakuasi dini, serta memperkuat infrastruktur agar lebih tahan terhadap bencana. Pemantauan informasi resmi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) perlu terus dilakukan untuk menghindari risiko yang tidak perlu.