WASHINGTON, DC, AS – Putri Presiden China, Xi Jinping, Xi Mingze, terancam dideportasi dari Amerika Serikat menyusul kebijakan visa baru yang diumumkan pemerintahan Donald Trump. Kebijakan ini menargetkan pencabutan visa bagi mahasiswa asal China, terutama mereka yang memiliki kaitan dengan Partai Komunis China atau sedang menempuh studi di bidang strategis seperti teknologi dan sains.
Putri tunggal Presiden Xi Jinping, diketahui pernah menempuh pendidikan di Universitas Harvard antara tahun 2010 hingga 2014 menggunakan nama samaran “Chu Chen”. Meski telah lulus, kabar bahwa ia masih tinggal di Massachusetts memicu desakan dari kelompok sayap kanan di AS agar ia dideportasi.
Kebijakan Visa Baru AS
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyatakan bahwa pemerintah akan mencabut visa mahasiswa asal China secara agresif, terutama mereka yang memiliki hubungan dengan Partai Komunis China (PKC) atau sedang belajar di bidang-bidang strategis seperti teknologi dan sains.
“AS akan mulai mencabut visa mahasiswa China, termasuk mereka yang memiliki hubungan dengan Partai Komunis China atau belajar di bidang-bidang penting,” ujar Rubio melalui platform X, dikutip dari Reuters (29/5/2025).
Selain pencabutan visa, pengawasan terhadap aplikasi visa dari China dan Hong Kong juga diperketat. Langkah ini disebut sebagai upaya melindungi keamanan nasional, dengan alasan mencegah penyalahgunaan informasi dan teknologi oleh pihak asing.
Namun, China menanggapi keras kebijakan ini. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menyebutnya sebagai tindakan politis yang diskriminatif.
“China dengan tegas menolak keputusan itu karena merusak diplomasi antarmasyarakat kedua negara,” ujar Mao, dikutip dari Global Times.
Xi Mingze Jadi Pusat Perhatian
Di tengah ketegangan ini, nama Xi Mingze kembali mencuat. Ia pernah dilaporkan berkuliah di Harvard pada 2010 hingga 2014 menggunakan nama samaran “Chu Chen”. Meski telah lulus dengan gelar sarjana psikologi, keberadaan Xi Mingze yang dikabarkan masih tinggal di Massachusetts menjadi bahan perdebatan publik.
Aktivis sayap kanan Laura Loomer menyerukan deportasi Xi Mingze melalui media sosial. “Ayo! Deportasi putri Xi Jinping! Dia tinggal di Massachusetts dan pernah kuliah di Harvard! Sumber mengatakan penjaga PLA dari Partai Komunis China memberikan pengawalan pribadi padanya di wilayah AS!” tulisnya di platform X.
Seruan ini mendapat dukungan dari sebagian pendukung gerakan MAGA (Make America Great Again). Sebagian pihak menganggapnya sebagai simbol ketegasan AS terhadap China, sementara lainnya menilai hal tersebut berlebihan dan tidak relevan dengan isu keamanan nasional.
Hingga kini, tidak ada konfirmasi resmi terkait keberadaan Xi Mingze di AS maupun apakah ia menjadi target langsung kebijakan tersebut.
Dampak pada Mahasiswa Internasional
Kebijakan visa baru ini tak hanya berdampak pada mahasiswa China, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian bagi mahasiswa internasional lainnya. Di Universitas Harvard, tercatat ada 87 mahasiswa asal Indonesia yang turut terancam kehilangan status hukumnya setelah universitas itu dituduh berkolaborasi dengan PKC dan dilarang menerima mahasiswa asing.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri menyatakan kesiapan untuk memberikan pendampingan konsuler bagi warga negara Indonesia yang terdampak.
Sementara itu, universitas di Hong Kong mulai menawarkan solusi alternatif dengan mempercepat proses penerimaan mahasiswa asing yang terkena dampak. Menteri Pendidikan Hong Kong, Christine Choi, mengatakan bahwa institusinya siap memfasilitasi transisi akademik secara lancar.
Ketegangan AS-China Memuncak
Isu visa ini menambah panjang daftar konflik antara AS dan China, yang sebelumnya telah berseteru terkait tarif impor dan dominasi teknologi. Pemerintah China memprotes keras pemberlakuan tarif impor sebesar 145% oleh AS, menyebut kebijakan tersebut sebagai tindakan yang tidak bijaksana.
Di sisi lain, Trump menegaskan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut merupakan bagian dari agenda “America First” untuk melindungi kepentingan nasional.
Pihak universitas, termasuk Harvard, menyampaikan keprihatinannya atas kebijakan ini. Harvard menyebut langkah pemerintah sebagai pelanggaran hukum dan menegaskan komitmennya untuk terus mendukung mahasiswa internasional.
Namun, dengan ancaman serupa yang mungkin meluas ke kampus-kampus lainnya, masa depan pendidikan internasional di AS kini menghadapi ketidakpastian serius.
Walaupun belum ada kepastian mengenai keberadaan Xi Mingze di AS, sorotan terhadapnya mencerminkan bagaimana isu kebijakan visa ini menjadi bagian dari perseteruan politik antara AS dan China.
Pemerintah China yang dikenal menjaga kerahasiaan keluarga Presiden Xi Jinping belum memberikan tanggapan resmi terkait seruan deportasi tersebut. Namun, jelas bahwa kebijakan visa baru ini membuka babak baru dalam hubungan kedua negara, dengan Xi Mingze menjadi salah satu figur yang menjadi simbol kontroversi global.