JAKARTA – Ketegangan geopolitik, konflik Iran-Israel kembali mengguncang pasar keuangan global termasuk harga minyak dunia.
Serangan udara Amerika Serikat Sabtu malam terhadap tiga fasilitas nuklir Iran di akhir pekan langsung berdampak pada sentimen investor awal pekan ini.
Senin (23/6/2025) pagi ini waktu Asia, bursa saham regional dibuka dalam tekanan, sementara harga minyak mentah dan emas mengalami lonjakan sebagai respons atas potensi eskalasi konflik di Timur Tengah.
Dalam perdagangan Asia, indeks saham berjangka S&P 500 melemah sekitar 0,3 persen.
Di sisi lain, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI), acuan utama untuk pasar minyak AS, melonjak lebih dari 3 persen.
Emas, yang dikenal sebagai aset lindung nilai saat ketidakpastian meningkat, juga mengalami kenaikan nilai.
Kenaikan harga ini mencerminkan kekhawatiran bahwa krisis di Timur Tengah akan berdampak serius terhadap rantai pasokan energi global.
Sementara itu, bursa saham utama di Asia menunjukkan respons negatif.
Melansir Nytimes, indeks saham di Taiwan anjlok lebih dari 1 persen, dan pasar di Jepang, Hong Kong, serta Korea Selatan juga mencatat pelemahan.
Para pelaku pasar menahan langkah untuk melihat apakah konflik akan berkembang lebih jauh, khususnya terkait ancaman Iran terhadap jalur pelayaran strategis di Selat Hormuz.
Selat Hormuz menjadi titik kritis dalam perdagangan energi dunia, karena sekitar 20 juta barel minyak — setara 20 persen dari total pasokan global — melewati jalur tersebut setiap hari.
Sebagian besar minyak itu dikirim ke negara-negara Asia seperti Jepang, Taiwan, dan Tiongkok.
Ketergantungan tinggi terhadap pasokan energi dari kawasan itu membuat Asia sangat rentan terhadap potensi blokade atau gangguan lalu lintas di selat tersebut.
“Jika kemungkinan Iran memblokir Selat Hormuz meningkat, harga minyak bisa menembus angka $80 per barel,” ujar Takahide Kiuchi, ekonom eksekutif di Nomura Research Institute.
“Bahkan, dalam skenario ekstrem, perekonomian Jepang bisa mengalami tekanan yang lebih berat dibandingkan era perang dagang akibat tarif Trump,” tambahnya.
Meski begitu, beberapa analis memperkirakan gejolak ini mungkin hanya bersifat jangka pendek.
Daniel Hynes, ahli strategi komoditas senior di ANZ Research, menilai pasar minyak saat ini lebih tangguh dibandingkan masa lalu.
Menurutnya, kapasitas cadangan dan fleksibilitas pasokan dari eksportir utama bisa menahan lonjakan harga yang ekstrem.
“Gejolak geopolitik memang memicu fluktuasi harga, tapi tren dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan harga cenderung cepat turun setelah risiko mereda,” jelasnya.
Volatilitas pasar diperkirakan masih akan tinggi dalam beberapa hari ke depan.
Daniel Ives, analis dari Wedbush Securities, menyatakan, “Pergerakan saham minggu ini bisa sangat fluktuatif.
Namun, ada kemungkinan pasar akan menilai ancaman dari Iran sebagai sesuatu yang sudah berlalu.”
Ia menambahkan, “Jika itu benar, maka mungkin masa paling bergejolak sudah kita lewati.” ***