JAKARTA – Franka Franklin, istri dari mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, menyatakan kekecewaannya setelah hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan terkait kasus dugaan korupsi dalam pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada periode 2019-2022.
“Tentunya kami sangat sedih dan kecewa dengan putusan hari ini, namun kami sangat menghormati apa yang sudah diputuskan hakim tadi,” ujar Franka setelah sidang putusan praperadilan di PN Jakarta Selatan pada Senin, (13/10/2025).
Franka menegaskan bahwa meskipun keputusan tersebut tidak memihak, pihak keluarga dan tim pengacara akan terus berjuang untuk mencari jalan melalui koridor hukum yang telah diatur dalam undang-undang.
Di akhir keterangannya, Franka juga mengungkapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang memberikan doa dan dukungan. “Terima kasih sekali lagi untuk seluruh doa dari teman-teman semuanya, dari keluarga, kerabat kami sehingga Mas Nadiem sampai di hari ini masih bisa bersama-sama biarpun terpisah jauh dari kami,” tuturnya.
Kasus Dugaan Korupsi Chromebook
Kasus ini bermula dari dugaan korupsi dalam pengadaan Chromebook yang direncanakan oleh Nadiem Anwar Makarim pada 2020 saat menjabat sebagai Mendikbudristek. Pengadaan tersebut melibatkan produk teknologi dari Google untuk kebutuhan alat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Kemendikbudristek, meski saat itu pengadaan alat TIK belum dimulai.
Terkait hal ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka. Nadiem mengajukan permohonan praperadilan untuk membantah tuduhan tersebut, namun permohonannya ditolak oleh Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan, I Ketut Darpawan.
Nadiem, melalui tim kuasa hukumnya, akan terus mencari langkah hukum lain untuk menyelesaikan kasus ini. Pasal yang disangkakan terhadap Nadiem adalah Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.




