JAKARTA – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar, menekankan pentingnya sinergi antara dana sosial keagamaan seperti dana zakat dengan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) dalam upaya mengatasi kemiskinan ekstrem di Indonesia.
Menurutnya, optimalisasi pengelolaan zakat berbasis data yang akurat dapat mempercepat penyaluran bantuan dan meningkatkan efektivitasnya.
Dalam rapat tingkat menteri terkait DTSEN pada Kamis (27/2/2025), Menag menggarisbawahi perlunya data yang terpusat agar bantuan dapat disalurkan tepat sasaran.
“Penting bagi kita untuk memiliki data yang akurat agar bantuan dapat disalurkan tepat sasaran.”
“Jangan sampai bantuan diberikan kepada pihak yang tidak benar-benar membutuhkannya. Data yang terpusat dan akurat akan sangat membantu dalam penyaluran dana keagamaan,” ujar Menag.
“Saat ini, jumlah masyarakat yang termasuk dalam kategori miskin ekstrem mencapai 3,1 juta orang.”
“Berdasarkan perhitungan yang pernah saya baca, satu individu membutuhkan sekitar Rp509.000 hingga Rp600.000 per bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar,” jelasnya,
“Sementara itu, dana zakat yang dikumpulkan oleh BAZNAS pada tahun 2023 mencapai Rp32 triliun. Jika separuhnya dialokasikan untuk membantu masyarakat miskin ekstrem, maka jumlah tersebut sudah cukup untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan,” lanjutnya dikutip dari laman Kemenag.
Selain zakat, Menag mengatakan, berbagai kegiatan sosial berbasis keagamaan seperti penyediaan makanan berbuka puasa di Masjid Istiqlal yang mencapai 5.000 hingga 10.000 paket setiap hari selama Ramadan.
Juga berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan meskipun tidak selalu tercatat dalam statistik resmi.
Lebih lanjut, ia menyebut terdapat sekitar 27 sumber dana keagamaan yang dapat dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan ekstrem di Indonesia, seperti infak, sedekah, hibah, wasiat, wakaf, jizyah, dan sebagainya.
“Lembaga filantropi selama ini sudah memiliki daftar penerima bantuan mereka sendiri. Namun, dengan adanya sistem data yang lebih terintegrasi seperti DTSN, kita bisa mencegah tumpang-tindih bantuan,” ungkap Menag.
Menag juga mengusulkan agar sistem zakat di Indonesia dapat mengadopsi kebijakan Malaysia, di mana pembayaran zakat menjadi faktor pengurang pajak. Kebijakan ini terbukti meningkatkan jumlah pembayar pajak maupun pembayar zakat di Malaysia.
“Jika sistem ini dapat diterapkan di Indonesia, kita bisa mendapatkan sinergi yang luar biasa antara zakat dan pajak dalam pengentasan kemiskinan. Dengan demikian, bahasa agama dapat berkolaborasi dengan bahasa negara untuk menciptakan kesejahteraan sosial yang lebih luas,” terang Menag.
“Tentu, penyesuaian tetap perlu dilakukan. Misalnya, zakat hanya boleh diberikan kepada delapan golongan (asnaf), sehingga tidak bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur seperti jembatan.”
“Namun, ada sumber dana lain seperti infak, wakaf, atau hibah yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut. Bahkan, hibah dapat diberikan kepada non-Muslim,” tuturnya.
Menag memberikan contoh bahwa Rasulullah SAW pernah mengizinkan penggunaan dana hibah untuk menyelesaikan pembangunan rumah ibadah non-Muslim yang mangkrak.
Hal ini menunjukkan fleksibilitas dana keagamaan dalam mendukung berbagai aspek kesejahteraan sosial.
Menurutnya, jika sistem ini juga disinergikan dengan lembaga filantropi agama selain Islam seperti Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan lainnya, maka akan terbentuk sebuah mekanisme yang lebih terkoordinasi dan efisien.
“Tentu saja, sinergi ini tidak boleh mengurangi kebebasan dan otonomi masing-masing lembaga keagamaan. Yang kita upayakan adalah kolaborasi tanpa intervensi yang berlebihan dari pemerintah,” tambahnya.
Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat RI, Muhaimin Iskandar menyampaikan hal senada.
Muhaimin Iskandar menyampaikan penyatuan data sosial ekonomi dari berbagai kementerian dan lembaga telah mencapai perkembangan yang signifikan.
Ia menegaskan bahwa DTSEN menjadi instrumen utama dalam penanggulangan kemiskinan, khususnya kemiskinan ekstrem.
“Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, khususnya kemiskinan ekstrem, data tunggal sosial ekonomi nasional mutlak diperlukan agar penanganan dapat dilakukan dengan akurat, tepat sasaran, dan sesuai target penghapusan kemiskinan ekstrem maksimal tahun 2026,” pungkas Cak Imin, panggilan akrabnya.***




