Bayangkan datang ke IGD tengah malam dengan kantong kresek berisi “bagian tubuh” istri yang baru melahirkan. Itulah cerita mencekam yang dibagikan dokter umum sekaligus influencer kesehatan, dr. Gia Pratama, dalam podcast Raditya Dika. Kisah seorang ibu yang diduga mengalami “rahim copot” setelah melahirkan di tangan dukun beranak ini langsung viral, ditonton jutaan kali, dan memicu perdebatan panas di kalangan dokter.
Dari skeptisisme hingga tuduhan “nyinyir”, apa sebenarnya yang terjadi? Dan apakah rahim benar-benar bisa “copot” seperti istilah awam itu?
Awal Mula Viral: Cerita dr. Gia yang Bikin Gen Z Bergidik
Semuanya bermula dari episode podcast Raditya Dika yang tayang awal November 2025. dr. Gia, yang dikenal dengan konten edukasi kesehatan di media sosial, menceritakan pengalaman “sekali seumur hidup” di IGD sekitar 15 tahun lalu di Garut, Jawa Barat. Seorang suami datang pukul 02.00 WIB membawa kantong kresek berisi rahim istrinya yang “copot” setelah persalinan dibantu paraji (dukun beranak).
“Tali pusarnya ditarik, jadi rahimnya ikut turun, brol copot semua,” kata dr. Gia, sambil gambarkan perdarahan seperti “air terjun”. Pasien tiba dalam kondisi pucat pasi, tekanan darah 70/0, dan butuh operasi darurat melibatkan tim dokter kandungan dan bedah untuk rekonstruksi vagina serta perbaikan robekan usus.
Cerita ini langsung meledak di TikTok dan X, dengan netizen bereaksi campur aduk. Namun, alih-alih apresiasi atas edukasi bahaya persalinan non-medis, postingan dr. Gia justru disambut skeptisisme dari rekan sejawatnya.
Apa Itu “Rahim Copot”? Fakta Medis di Balik Istilah Awam
Secara medis, tidak ada istilah “rahim copot”. Dokter-dokter yang merespons menegaskan bahwa rahim, yang ditopang ligamen kuat di rongga panggul, tidak bisa benar-benar terlepas seperti “ditarik keluar” begitu saja. dr. Prita Kusumaningsih, SpOG, menjelaskan: “Rahim stabil bahkan saat menampung janin 3-4 kg. Yang mungkin adalah prolaps uteri (rahim turun ke vagina karena ligamen lemah) atau kondisi lebih berbahaya: inversio uteri.”
Inversio uteri adalah komplikasi langka (1:2.000-2.500 persalinan) di mana rahim terbalik dan menonjol keluar melalui vagina, sering karena penarikan tali pusar paksa saat plasenta belum lepas (retensio plasenta). Ini bisa picu perdarahan hebat, syok, dan kematian jika tak ditangani cepat. dr. Muhammad Fadli, SpOG, menduga kasus dr. Gia justru ini: “Rahimnya bukan copot, tapi kebalik karena kontraksi rahim tak adekuat, lalu tali pusar ditarik paksa.”
dr. Marcel Elian Suwito, SpOG, menambahkan: “Rahim copot hingga keluar sepenuhnya nyaris mustahil. Pasien tak akan bisa dibawa ke RS; mati di tempat dalam menit-menit.” Sementara dr. Andon Hestiantoro, SpOG-KFER, tegas: “Rahim tidak bisa terputus. Ini darurat obstetrik, tapi bisa ditangani dengan manajemen aktif kala III: obat kontraksi dan penarikan terkendali.”
Kondisi lain yang mungkin: robekan dinding rahim berat, tapi tetap bukan “copot total”. Prof. Budi Wiweko dari POGI bilang: “Dua kemungkinan: inversio total atau robekan berat. Tapi tanpa lihat pasien, sulit pastikan.”
Perdebatan yang Memanas: Dari Skeptisisme ke Tuduhan Bullying
Viralnya cerita ini memicu “ribut-ribut” di kalangan dokter. Beberapa obgyn menyanggah keras, anggap dr. Gia – sebagai dokter umum – “melebih-lebihkan” untuk konten. dr. Christofani Ekapatria, obgyn yang menangani kasus serupa 15 tahun lalu, justru membenarkan: “Sekali seumur hidup saya alami. Kami rekonstruksi vagina, hentikan perdarahan, dan pasien selamat.” Ini jadi “saksi hidup” yang meredam skeptisisme.
POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia) turun tangan, ingatkan etika: “Edukasi medis harus etis, jangan bikin bingung publik. Jaga profesionalisme, hindari nyinyir di medsos.” Prof. Budi Wiweko ajak: “Fokus edukasi bahaya persalinan non-medis, bukan debat internal.”
Kasus ini soroti isu besar: 20% persalinan di Indonesia masih dibantu paraji, tingkatkan risiko komplikasi seperti postpartum hemorrhage (42% kematian ibu). Viral ini untungkan edukasi: RS dan Kemenkes dorong “Lahiran Aman di Faskes”, sementara dr. Gia klarifikasi: “Saya cerita untuk cegah, bukan sensasi.”