JAKARTA — Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia menyampaikan keprihatinan atas banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November hingga pertengahan Desember 2025. Bencana tersebut menimbulkan korban jiwa serta kerusakan infrastruktur dan lingkungan.
Dalam pernyataan resminya, APHA menyampaikan duka cita kepada seluruh korban dan keluarga terdampak. APHA juga memberikan apresiasi kepada pemerintah pusat dan daerah, aparat penanggulangan bencana, relawan, serta masyarakat setempat atas berbagai upaya tanggap darurat dan bantuan kemanusiaan yang telah dilakukan.
APHA menilai bahwa bencana hidrometeorologi yang terjadi perlu disikapi secara komprehensif dan berkelanjutan. Selain faktor alam, organisasi ini memandang penting adanya evaluasi terhadap pengelolaan lingkungan hidup dan kawasan hutan, sebagai bagian dari upaya mitigasi risiko bencana di masa mendatang.
“Bencana ini menjadi pengingat bersama akan pentingnya penguatan tata kelola lingkungan hidup, pengawasan, serta penegakan hukum di bidang kehutanan dan sumber daya alam,” demikian pernyataan tertulis APHA yang diterima Garuda.tv, Selasa (16/12/2025).
Sehubungan dengan besarnya dampak kemanusiaan, APHA mendorong pemerintah pusat untuk mempertimbangkan penetapan status Bencana Nasional terhadap banjir bandang dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Penetapan tersebut dinilai dapat memperkuat koordinasi lintas sektor serta mempercepat mobilisasi sumber daya dalam proses penanganan dan pemulihan wilayah terdampak.
Menurut APHA, status Bencana Nasional akan membuka ruang yang lebih luas bagi percepatan bantuan kemanusiaan, rehabilitasi infrastruktur, serta pemulihan sosial dan ekonomi masyarakat.
Selain itu, APHA mendorong dilakukannya evaluasi dan audit menyeluruh terhadap kebijakan pemanfaatan hutan dan pengelolaan lingkungan hidup. Evaluasi ini dinilai penting untuk memastikan kebijakan yang berjalan telah sejalan dengan prinsip keberlanjutan, perlindungan lingkungan, dan kepentingan masyarakat luas.
APHA mengusulkan agar proses evaluasi tersebut melibatkan kementerian dan lembaga terkait, serta aparat penegak hukum sesuai dengan kewenangan masing-masing. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat kepatuhan terhadap regulasi dan meningkatkan kualitas tata kelola sumber daya alam.
Dalam konteks pencegahan bencana, APHA menekankan pentingnya penguatan penegakan hukum lingkungan secara transparan dan profesional. Apabila ditemukan indikasi pelanggaran, APHA mendorong agar dilakukan penanganan sesuai ketentuan hukum yang berlaku sebagai bagian dari pembelajaran bersama.
APHA juga menyoroti pentingnya integrasi kearifan lokal dan peran masyarakat adat dalam pengelolaan hutan dan lingkungan hidup. Nilai-nilai lokal yang telah lama hidup di tengah masyarakat dinilai memiliki kontribusi besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan mengurangi risiko bencana.
Oleh karena itu, APHA mendorong penguatan regulasi yang mengakomodasi peran aktif masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Dalam penanggulangan dampak bencana, APHA menekankan perlunya percepatan bantuan dan pemulihan bagi kelompok rentan, khususnya perempuan dan anak-anak. Penanganan yang responsif, inklusif, dan berperspektif perlindungan dinilai penting untuk memastikan pemulihan sosial berjalan secara menyeluruh.
APHA berharap bencana banjir bandang dan longsor di wilayah Sumatra dapat menjadi pembelajaran nasional dalam memperkuat kebijakan lingkungan dan sistem kebencanaan ke depan. Organisasi ini mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk terus bersinergi dalam mewujudkan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, adil, dan berorientasi pada keselamatan masyarakat.
Pernyataan tersebut ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal APHA Indonesia, Dr. Rina Yulianti bersama para akademisi hukum dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan akademik terhadap keselamatan publik dan keberlanjutan lingkungan hidup.