BRASILIA – Brasil dan India menunjukkan sikap tegas menentang kebijakan tarif 50% yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap barang impor dari kedua negara. Langkah ini memicu respons keras dari kedua anggota BRICS, yang menegaskan komitmen mereka pada perdagangan global yang adil dan multilateralisme.
Kebijakan tarif AS ini menjadi sorotan setelah Presiden Donald Trump mengumumkan pengenaan tarif 50% untuk barang dari Brasil pada 30 Juli 2025, dengan alasan penuntutan terhadap mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro terkait dugaan rencana kudeta pasca-pemilu 2022. Trump menuding Brasil melakukan “persekusi politik” dan menganggapnya sebagai ancaman keamanan nasional AS. Brasil dengan tegas menyebut langkah ini sebagai campur tangan ilegal dalam urusan dalam negeri mereka.
Sementara itu, pada Rabu (6/8/2025), Trump juga mengumumkan tarif serupa untuk impor dari India, yang akan berlaku akhir Agustus 2025. Kebijakan ini dipicu oleh tuduhan bahwa perdagangan minyak India dengan Rusia melemahkan posisi AS. New Delhi mengecam langkah tersebut sebagai “tidak adil, tidak dapat dibenarkan, dan tidak masuk akal” serta berjanji akan mempertahankan kepentingan nasionalnya dengan tegas.
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva dan Perdana Menteri India Narendra Modi menggelar pembicaraan telepon selama satu jam pada Kamis (7/8/2025) untuk membahas dampak kebijakan tarif ini terhadap ekonomi global.
“Kedua pemimpin menegaskan kembali pentingnya mempertahankan multilateralisme dan kebutuhan untuk menghadapi tantangan global saat ini, sambil menjajaki integrasi yang lebih dalam antara kedua negara,” demikian pernyataan resmi pemerintah Brasil.
Langkah AS ini juga menuai kritik dari China, yang menyebutnya sebagai bentuk “perundungan” terhadap Brasil. Ketegangan ini memperkuat solidaritas di antara negara-negara BRICS, yang kini telah berkembang dengan bergabungnya Indonesia dan melampaui G7 dalam hal produk domestik bruto (PDB) gabungan. BRICS, yang dibentuk pada 2006 oleh Brasil, Rusia, India, dan China, dengan Afrika Selatan bergabung pada 2010, terus menolak tuduhan Trump bahwa mereka berupaya melemahkan dolar AS. Sebaliknya, mereka menegaskan bahwa kebijakan luar negeri Washington-lah yang justru merusak nilai dolar.
Lula mengungkapkan rencana untuk mengusulkan KTT BRICS guna menyusun respons bersama terhadap tekanan perdagangan AS. “Kami perlu bersatu untuk menghadapi tantangan ini,” kata Lula kepada Reuters, menekankan pentingnya kerja sama antarnegara BRICS dalam menghadapi kebijakan proteksionis AS.
Di sisi lain, Trump juga mengancam akan menerapkan tarif tambahan sebesar 10% terhadap mitra dagang Rusia untuk menekan Moskow agar menerima gencatan senjata dalam konflik Ukraina. Namun, Rusia menolak ancaman tersebut, menegaskan hak negara berdaulat untuk memilih mitra dagang mereka sendiri.
Respons Global dan Dampak Ekonomi
Kebijakan tarif ini memicu kekhawatiran akan eskalasi perang dagang global, terutama di tengah ketegangan geopolitik yang meningkat. Brasil dan India, sebagai kekuatan ekonomi utama di BRICS, berpotensi menggalang dukungan lebih luas untuk melawan tekanan AS. Analis memperkirakan bahwa solidaritas BRICS dapat mempercepat pergeseran dinamika perdagangan global, dengan negara-negara berkembang mencari alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
Langkah Brasil dan India ini juga menyoroti pentingnya multilateralisme dalam menghadapi kebijakan unilateral seperti yang diterapkan AS. Dengan ekonomi global yang saling terhubung, kebijakan tarif ini dapat memengaruhi rantai pasok dan harga komoditas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang kini menjadi bagian dari BRICS.