Pernahkah kamu memperhatikan bahwa banyak badai tropis, topan, atau hurikan di berita diberi nama seperti “Katrina”, “Maria”, “Yolanda”, atau “Mangkhut”? Dan sering kali nama-nama itu terdengar seperti nama perempuan? Pertanyaan ini sering muncul, dan jawabannya ternyata punya sejarah panjang yang menarik — mulai dari tradisi pelaut abad ke-19 hingga perubahan besar karena gerakan feminisme.
1. Awal Mula: Tradisi Pelaut dan Nama Perempuan sebagai “Metafora”
Sejak abad ke-19, para pelaut di Atlantik sering memberi nama badai dengan nama perempuan — terutama nama mantan pacar, istri, atau ibu mertua yang mereka anggap “mengerikan” atau “tak terkendali”. Badai dianggap seperti perempuan yang cantik tapi berbahaya, tidak bisa diprediksi, dan bisa “mengamuk” kapan saja.
Pada masa Perang Dunia II (1940-an), meteorolog militer AS dan Australia mulai secara resmi memberi nama badai menggunakan nama perempuan saja. Alasannya praktis:
- Nama pendek dan mudah diingat
- Lebih mudah dikomunikasikan lewat radio daripada kode angka yang panjang
- Saat itu hanya ada nama perempuan yang dipakai (contoh: Hurricane Alice, Typhoon Susan, dsb.)
2. Sistem Resmi Dimulai Tahun 1953 (Atlantik) dan 1979 (Perubahan Besar)
Pada tahun 1953, Badan Cuaca Nasional AS (sekarang NOAA) secara resmi mengadopsi daftar nama perempuan saja untuk hurikan di Samudra Atlantik dan Pasifik Timur. Daftar ini disusun alfabetis dan dipakai ulang setiap 6 tahun (kecuali nama badai yang sangat mematikan akan dipensiunkan, seperti Katrina 2005 atau Maria 2017).
Kenapa hanya nama perempuan selama hampir 30 tahun?
- Mengikuti tradisi militer PD II yang sudah berjalan
- Dianggap lebih “menarik perhatian” media dan publik
- Pada masa itu, belum ada protes signifikan soal gender
3. Protes Feminis dan Perubahan di Tahun 1979
Pada akhir 1970-an, gerakan kesetaraan gender mulai menggugat praktik ini. Roxcy Bolton, seorang aktivis feminis dari Amerika Serikat, menjadi salah satu tokoh yang paling vokal. Ia mengatakan:
“Memberi nama badai hanya dengan nama perempuan sama dengan mengasosiasikan perempuan dengan kehancuran dan kekacauan — itu seksis!” Ia bahkan mengusulkan agar badai diberi nama senator laki-laki yang tidak disukai (“Hurricane Nixon”, dsb.) sebagai sindiran.
Akhirnya pada tahun 1979, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan NOAA sepakat:
- Mulai 1979 (Atlantik) dan 1980 (Pasifik), daftar nama bergantian antara nama laki-laki dan perempuan.
- Daftar dibuat 6 tahun sekali, masing-masing tahun ada 21 nama (A sampai W, tanpa Q dan U).
4. Kenapa Masih Banyak Terdengar Nama Perempuan?
Meski sudah bergantian sejak 1979, kesan bahwa “badai itu bernama perempuan” tetap kuat karena beberapa alasan:
- Badai paling terkenal dan paling mematikan sebelum 1979 memang semuanya nama perempuan (Camille 1969, Agnes 1972, Anita 1977, dll.).
- Banyak badai besar setelah 1979 juga kebetulan nama perempuan: Katrina (2005), Sandy (2012), Maria (2017), Ida (2021), dll.
- Di wilayah Pasifik Barat (termasuk Filipina dan Indonesia), sistem penamaan berbeda. Sejak tahun 2000, nama-nama diajukan oleh negara-negara di sekitar Typhoon Committee (termasuk Indonesia). Banyak negara Asia yang mengusulkan nama-nama netral atau nama perempuan tradisional, sehingga tetap terdengar banyak nama perempuan (contoh: Damrey, Haikui, Krovanh, Doksuri, dll.).
5. Sistem Penamaan Saat Ini (2025)
- Atlantik & Pasifik Timur: Bergantian laki-laki dan perempuan, alfabetis, 6 daftar berulang.
- Pasifik Barat (termasuk Indonesia): 140 nama yang diajukan 14 negara anggota, banyak nama netral atau dari bahasa lokal (bunga, hewan, dsb.), tapi tetap ada nama manusia yang sebagian besar terdengar feminin.
- Jika semua 21 nama habis dalam satu musim (jarang terjadi), sekarang memakai abjad Yunani (Alpha, Beta, dst.) — bukan nama lagi.