JAKARTA – Dewan Pers melakukan penelitian dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar. Langkah ini diambil setelah Tian ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan perintangan penyidikan terkait korupsi minyak goreng, timah, dan impor gula.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menyatakan bahwa pihaknya akan meneliti apakah pemberitaan yang dibuat Tian melanggar kode etik jurnalistik.
“Tetapi untuk tindak pidana, kalau memang ada dugaan, ada dua alat bukti yang cukup, kami juga mempersilakan pihak kejaksaan untuk melakukan pendalaman,” ujar Ninik di kantor Dewan Pers, Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Latar Belakang Kasus
Tian Bahtiar terseret dalam kasus hukum setelah Kejagung menetapkannya sebagai tersangka. Ia diduga terlibat dalam upaya menghambat penyidikan kasus korupsi besar yang tengah diusut Kejagung. Menurut informasi, Tian memproduksi konten berita yang dianggap memojokkan Kejagung, sehingga memicu tuduhan perintangan penyidikan.
Dewan Pers, sebagai lembaga yang mengawasi etika jurnalistik, kini mengambil peran untuk mengevaluasi pemberitaan tersebut.
Fokus utama mereka adalah menentukan apakah konten yang dibuat Tian masih sesuai dengan prinsip jurnalistik, seperti akurasi, independensi, dan cover both sides, atau justru melanggar kode etik.
Proses Pemeriksaan Dewan Pers
Ninik menjelaskan bahwa Dewan Pers telah menerima dokumen terkait kasus Tian dari Kejagung. Dokumen ini akan menjadi dasar untuk menganalisis pemberitaan yang dianggap bermasalah.
“Kami memiliki urusan untuk menilai apakah kasus ini merupakan sebuah karya jurnalistik atau bukan, hingga ada pelanggaran kode etik atau tidak,” kata Ninik.
Pemeriksaan ini tidak hanya berfokus pada isi berita, tetapi juga pada perilaku Tian sebagai jurnalis.
Dewan Pers akan memanggil pihak-pihak terkait untuk dimintai keterangan, termasuk Tian sendiri, yang saat ini ditahan di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejagung.
Untuk memudahkan proses pemeriksaan, Ninik meminta Kejagung mempertimbangkan pengalihan status penahanan Tian.
“Karena pemeriksaan berkas di Dewan Pers juga perlu menghadirkan pihak, jadi mohon juga dipertimbangkan pengalihan penahanan untuk mempermudah bagi kami melakukan pemeriksaan,” tambahnya.
Kontroversi dan Dampaknya
Kasus ini memicu perhatian besar karena menyangkut kebebasan pers dan etika jurnalistik. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) bahkan mempertanyakan langkah Kejagung yang langsung menetapkan Tian sebagai tersangka tanpa melibatkan Dewan Pers terlebih dahulu. Menurut IJTI, sengketa pemberitaan seharusnya diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, sesuai nota kesepahaman antara kedua lembaga pada 2019.
Di sisi lain, Kejagung menegaskan bahwa kasus Tian adalah murni pidana, bukan sekadar sengketa pemberitaan. Tuduhan bahwa Tian menerima Rp478,5 juta dari dua advokat untuk memuat berita negatif tentang Kejagung semakin memanaskan situasi.
Dewan Pers kini berada di posisi krusial untuk menentukan apakah Tian melanggar etika jurnalistik atau tidak. Hasil pemeriksaan ini tidak hanya akan memengaruhi nasib Tian, tetapi juga bisa menjadi preseden bagi kasus serupa di masa depan. Publik menanti apakah kasus ini akan memperkuat independensi pers atau justru memicu kekhawatiran terhadap kebebasan jurnalistik.