JAKARTA – Mantan prajurit Korps Marinir TNI AL Satria Arta Kumbara menyampaikan permohonan kepada Presiden Prabowo agar dipulangkan di Medan peperangan Rusia-Ukraina. Satria yang kini menjadi tentara bayaran Rusia mengaku ingin Kembali ke tanah air.
Dalam video yang diunggah melalui akun TikTok @zstrom689, Satria meminta bantuan untuk dipulangkan dari medan perang Ukraina, tempat ia terlibat dalam konflik bersenjata bersama pasukan Rusia.
Dalam video berdurasi singkat, Satria tampak mengenakan seragam tempur lengkap dengan helm dan rompi antipeluru, berjalan cepat di tengah situasi genting. Dengan suara tersengal, ia menyampaikan pesan emosional kepada putrinya.
“Alhamdulillah teman-teman saya masih hidup. Jadi, berita yang disebarkan Heru Sutet berita bohong ya teman-teman ya,” ujarnya, membantah kabar hoaks tentang kematiannya.
Ia juga memohon kepada Presiden Prabowo, “Bapak Prabowo tolong saya pulang ke Indonesia,” menegaskan keinginannya untuk kembali ke tanah air.
Latar Belakang Desersi dan Kehilangan Kewarganegaraan
Satria, yang sebelumnya berdinas di Inspektorat Korps Marinir (Itkormar) dengan pangkat Sersan Dua (Serda), dipecat dari TNI AL pada April 2023 setelah dinyatakan bersalah atas tindakan desersi. Berdasarkan putusan Pengadilan Militer II-08 Jakarta, Satria dijatuhi hukuman penjara satu tahun dan diberhentikan tidak dengan hormat karena meninggalkan tugas tanpa izin sejak 13 Juni 2022.
Keterlibatannya dalam operasi militer Rusia juga membuatnya kehilangan status kewarganegaraan Indonesia. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa Satria telah memenuhi unsur kehilangan kewarganegaraan karena bergabung dengan militer asing tanpa izin presiden, sebagaimana diatur dalam undang-undang. “Berdasar pengecekan pada system per 12 Mei 2025, Satria belum atau tidak mengajukan permohonan kehilangan Kewarganegaraan Indonesia. Namun demikian, sesuai peraturan yang berlaku di Indonesia, status kewarganegaraannya dapat hilang,” ujar Supratman.
Kisah Viral di Media Sosial
Kisah Satria pertama kali mencuat melalui unggahan di akun TikTok @zstrom689, yang menampilkan foto dan video dirinya berseragam militer Rusia di medan perang Ukraina.
Dalam salah satu unggahan, ia terlihat berpose bersama pasukan Rusia, memicu perhatian publik dan kontroversi di Indonesia. Satria juga sempat mengkritik pemerintah Indonesia dengan nada sarkastik.
“Yang sibuk maling duit rakyat dilindungin. Yang rakyat nyari duit di luar \[negeri] dengan passion dan skill sendiri diributin,” ungkapnya dalam video yang diunggah oleh Indonesia Strategic and Defense Studies (ISDS).
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menyebut bahwa motif ekonomi kemungkinan menjadi pendorong utama keputusan Satria bergabung dengan militer Rusia. Ia menyoroti risiko keamanan nasional, termasuk potensi kebocoran data rahasia akibat keterlibatan mantan prajurit TNI dalam konflik asing. “Bisa menimbulkan problem kebocoran data, kebocoran informasi, ada informasi-informasi yang sifatnya misalnya rahasia,” kata Fahmi.
Insentif Menggiurkan dari Rusia
Menurut laporan, Rusia menawarkan gaji dan insentif besar bagi tentara bayaran asing. Satria dilaporkan menerima gaji dasar sekitar Rp41 juta per bulan dan bonus penandatanganan kontrak hingga Rp74 juta. Di wilayah Bashkortostan, Rusia, rekrutan asing bahkan ditawari bonus pendaftaran mencapai Rp315 juta, menjadikan profesi tentara bayaran sebagai pilihan menarik secara finansial.
Respons dan Implikasi
Keterlibatan Satria dalam konflik Rusia-Ukraina tidak hanya melanggar disiplin militer, tetapi juga menciderai prinsip netralitas Indonesia dalam konflik internasional. TNI AL telah menegaskan bahwa Satria sudah bukan bagian dari institusi mereka, dan pemerintah terus berkoordinasi dengan Kedutaan Besar RI di Moskow untuk menangani kasus ini.
Kisah Satria Arta Kumbara menjadi pengingat akan kompleksitas isu desersi dan keterlibatan warga negara Indonesia dalam konflik global.
Permohonannya kepada Presiden Prabowo kini menjadi harapan terakhir untuk kembali ke Indonesia, di tengah situasi perang yang penuh risiko. Publik pun menanti langkah diplomasi pemerintah untuk menangani nasib mantan prajurit ini.