JAKARTA – Pemerintah Indonesia mengisyaratkan langkah berani untuk meredam tekanan ekonomi dengan kemungkinan menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menekankan pendekatan hati-hati demi mendukung pemulihan daya beli masyarakat di tengah fluktuasi ekonomi global.
Dalam konferensi pers APBN KITA edisi September 2025 di Jakarta, Selasa (14/10/2025), Purbaya menyoroti rencana ini sebagai bagian dari strategi fiskal adaptif.
Meski tarif PPN telah mengalami kenaikan bertahap dalam beberapa tahun terakhir, kali ini pemerintah membuka ruang untuk penyesuaian ke arah yang lebih pro-konsumen.
Hal ini menjadi sorotan utama di tengah diskusi nasional tentang beban pajak rumah tangga dan sektor usaha kecil-menengah (UMKM).
“Nanti kita lihat bisa enggak kita turunkan PPN itu untuk mendorong daya beli masyarakat ke depan. Tapi kita pelajari dulu hati-hati,” kata Purbaya saat konferensi pers APBN edisi September 2025, Selasa (14/10/2025).
Rencana penurunan tarif PPN ini bukanlah keputusan impulsif. Purbaya menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan evaluasi mendalam terhadap realisasi penerimaan pajak hingga akhir 2025.
Faktor-faktor seperti tren pertumbuhan ekonomi domestik, inflasi, dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat secara keseluruhan akan menjadi penentu utama.
Pendekatan ini mencerminkan komitmen fiskal yang berkelanjutan, sejalan dengan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan anggaran negara.
“Kita akan lihat seperti apa akhir tahun, ekonominya seperti apa, uang yang saya dapat sampai akhir tahun, saya sekarang belum terlalu clear,” paparnya.
Secara historis, tarif PPN Indonesia telah mengalami evolusi signifikan. Pada 2022, tarif naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%, diikuti kenaikan lanjutan menjadi 12% pada 2025 khusus untuk barang mewah berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP).
Namun, untuk komoditas umum, tarif tetap di kisaran 11% melalui mekanisme Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 11/12. Kebijakan ini lahir dari gelombang penolakan publik terhadap kenaikan menyeluruh, yang memaksa pemerintah untuk membatasi dampaknya hanya pada segmen premium.
Langkah potensial ini diharapkan mampu merangsang konsumsi domestik, yang menjadi pilar utama pertumbuhan PDB Indonesia.
Analis ekonomi memproyeksikan bahwa penurunan PPN bahkan sebesar 1% saja bisa meningkatkan daya beli hingga Rp 50 triliun per kuartal, terutama bagi keluarga berpenghasilan menengah ke bawah.
Selain itu, kebijakan serupa juga bisa meringankan beban UMKM yang bergantung pada rantai pasok berbasis PPN.
Pemerintah menjanjikan transparansi lebih lanjut melalui update rutin APBN KITA, yang memungkinkan publik memantau progres evaluasi.
Hingga kini, belum ada jadwal pasti untuk pengumuman final, tetapi sinyal positif dari Menkeu ini sudah cukup membangkitkan optimisme di kalangan pelaku usaha dan konsumen.