JAKARTA – Politikus Partai NasDem Ahmad Sahroni bersembunyi selama tujuh jam di dalam toilet saat rumahnya di Tanjung Priok, Jakarta Utara, dijarah massa pada akhir Agustus 2025. Insiden penyerangan itu menyebabkan kerusakan parah dan kerugian materiil puluhan juta rupiah.
Kejadian tragis itu terjadi di kediaman Sahroni yang berlokasi di Jalan Swasembada Timur XXII, Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Massa yang datang tanpa diduga mulai menggoyang pagar rumah sekitar pukul 15.30 WIB, disertai lemparan batu yang merusak fasad bangunan. Saat itu, Sahroni sedang berada di dalam rumah bersama delapan orang, termasuk staf dan tamu. Panik melanda, mereka bergegas menuju rooftop di lantai empat untuk mencari perlindungan.
Dalam keputusan cepat yang menyelamatkan nyawa, Sahroni memilih toilet berukuran hanya tiga meter persegi sebagai tempat persembunyian. Tanpa mengunci pintu, ia mengolesi wajahnya dengan tanah dan debu agar tak dikenali jika ada penyusup. Strategi sederhana ini ternyata efektif, meski penuh risiko.
“Waktu itu dia (Sahroni) sembunyi di kamar mandi,” ungkap Tabroni, staf pribadi Sahroni.
Momen paling tegang terjadi ketika seorang pria tak dikenal tiba-tiba masuk ke toilet dan menyentuh Sahroni. Dalam situasi darurat, politikus berusia 43 tahun itu berpura-pura sebagai penjaga rumah.
“Bapak (Sahroni) cerita, ada yang tiba-tiba masuk, sempat senterin dia dan tanya, ‘Kamu siapa?’, Bapak jawab, ‘Saya penjaga rumah’,” tambah Tabroni, menggambarkan ketegangan yang nyaris berujung bencana.
Pria misterius itu akhirnya pergi setelah memperingatkan Sahroni untuk tetap diam, karena situasi di luar masih kacau balau.
Sementara Sahroni bertahan sendirian tanpa ponsel—gadget-nya tertinggal dan hilang dalam penjarahan—stafnya di luar rumah kebingungan mencari keberadaannya. Tabroni, yang kebetulan keluar sebentar sebelum kerusuhan, tak bisa menghubungi bosnya hingga malam hari.
“Namanya panik, kan. Begitu sudah lempar-lemparan batu, pagar sudah digoyang-goyang, mereka naik ke atas untuk menyelamatkan diri,” jelas Tabroni, menyoroti kekacauan yang memaksa orang-orang di dalam rumah mengambil langkah ekstrem, seperti melompat ke atap tetangga.
Kabar baik baru datang sekitar pukul 22.00 WIB. Sahroni berhasil memanjat atap dan menyelinap ke rumah tetangga yang ramah. Dari sana, ia meminjam telepon untuk menghubungi istrinya, Feby Belinda, yang sedang berada di luar Jakarta.
“Itu satu-satunya nomor handphone yang beliau ingat,” kata Tabroni, menekankan ketangguhan mental Sahroni di tengah isolasi total.
Insiden penjarahan ini bukan hanya cerita survival pribadi, tapi juga pengingat akan kerentanan tokoh publik di tengah isu sosial yang memanas.
Rumah Sahroni mengalami kerusakan parah, dengan barang-barang berharga raib dan struktur bangunan rusak akibat vandalisme. Pihak berwenang kini masih menyelidiki motif massa, sementara warga sekitar enggan berkomentar lebih lanjut.
Kasus Ahmad Sahroni terjebak di toilet ini menambah daftar panjang insiden kerusuhan di Jakarta Utara, yang sering kali dipicu ketegangan ekonomi dan politik.
Pakar keamanan menilai, kejadian seperti ini menuntut peningkatan pengamanan untuk elite politik. Sahroni sendiri belum memberikan pernyataan resmi, tapi kisahnya menjadi inspirasi tentang ketabahan di saat krisis.




